Selasa, 21 Februari 2012

Kejadian Maut yang Lucu

       Saya adalah Agus Setiawan. Seorang mahasiswa. Waktu itu, terjadi sebuah event yang disebut "Konferensi Pendidikan Dasar". Ya, bisa disingkat kopendas. Tempat event itu di Islamic Centre. Saya mengalami sebuah kejadian lucu, tapi kejadian itu tidak menimpa saya melainkan teman saya bernama Dita sesama mahasiswa di UPI Kampus Sumedang. Cerita seperti ini :
       Kami semua mahasiswa UPI Kampus Sumedang waktu itu ikut sebuah acara yaitu kopendas yang tadi di atas disebutkan. Karena rasanya membosankan harus duduk berjam-jam dari pagi sampai sore, saya memutuskan untuk pulang saja pada saat waktu siang menjelang. Adapun teman-teman saya yang mungkin serupa sama bosan mereka pun ikut pulang.
       Setelah kita berembuk dan akhirnya memutuskan untuk pulang. Pada waktu itu kira-kira ada dua motor. Motor pertama saya bonceng satu, sedangkan teman saya Dita bonceng dua. Disinilah kejadian lucunya, saya tidak ingat nama tempatnya tapi disana ada sebuah jembatan. Kondisinya begini teman saya yang berbonceng dua tersebut mau menyalip sebuah mobil angkot, sedangkan angkot itu juga sedang menyalip mobil lain. 
       Karena tidak terlihat, di depannya ternyata sudah ada trotoar pembatas jalur kanan dan kiri. Sebenarnya mobil angkot itu juga hampir menabrak pembatas itu, tapi masih bisa berbelok ke arah kiri. Tetapi teman saya Dita karena mungkin "kagok", dia langsung mengambil jalur kanan yang berbeda arah. Di depannya sudah ada mobil "Pertamina" yang besar membunyikan klakson, tapi karena dia mahir mengendarai motornya akhirnya bisa lolos dari maut. Dan akhirnya kembali ke jalur kiri.Lucunya kedua teman yang dia bonceng shock karena kejadian itu. 
       Itulah cerita dari saya, jikalau saja melihat langsung mungkin kalian akan tertawa.

Selasa, 07 Februari 2012

TAK JADI BERHAJI DEMI PERUT TETANGGA

Oleh H. Usep Romli H.M. (PR : 15 Ramadan 1432 H / 15 Agustus 2011)
Seusai musim haji, Abdullah bin Mubarak, seorang ulama termasyhur abad ke-12 (1118 M/797 H) tertidur dekat Multazam. Ia seolah-olah mendengar dua malaikat bercakap-kacap, “Ada enam ratus ribu jemaah haji tahun ini. Namun, tidak seorang pun yang mabrur, yang hajinya diterima,” kata malaikat yang satu.
“Ada, seorang. Walaupun tidak datang kesini, tetapi Allah SWT. Berkenan memberinya ganjaran haji mabrur,” kata malaikat yang satu lagi.
“Siapa dia?”
“Ali al Muwaffaq, tukang sepatu miskin di Damaskus.”
Abdullah bin Mubarrak terkejut. Begitu bangun, segera bersuci. Segera melaksanakan tawaf wada dan segera berangkat ke Damaskus, ingin bertemu Ali al Muwaffaq. Ingin tahu amal apa yang ia lakukan sehingga mendapat ganjaran haji mabrur tanpa datang ke Mekkah. Padahal enam ratus ribu orang yang melakukan wukuf di Arafah, jumrah di Mina dan rukun serta wajib haji lain, malah mardud. Tertolak hajinya.
Setelah Abdullah bersusah payah menempuh perjalanan Mekah-Damaskus, juga berkeliling ke seluruh pelosok kota bekas pusat Dinasti Umayyah (610-750 M) itu. Akhirnya Ali al Muwaffaq dapat dijumpai. Sehabis mengucapkan salam dan istirahat sebentar, Abdullah memohon agar Ali al Muwaffaq mengisahkan amal perbuatan yang menyebabkannya mendapat ganjaran haji mabrur tanpa mengikuti ritus haji di Mekah pada saatnya.
Semula, Ali bungkam membisu. Namun, setelah terus didesak, akhirnya dia mau juga berbicara :
“Tiga puluh tahun aku menabung untuk mengumpulkan biaya perjalanan haji. Sangat susah payah mengingat penghasilanku sebagai pembuat sepatu, amat  minim. Tahun ini tabunganku genap 350 dirham. Cukup untuk sekedar bekal dengan cara menghemat dan sederhana. Nah, semalam sebelum keberangkatan, istriku sedang mengidam, mencium harum masakan dari rumah tetangga sebelah. Ia merengek-rengek agar aku memintakan sedikit daja dari hidangan yang menggiurkan itu.”
“Maka ku datangi rumah tetanggaku. Seorang janda miskin dengan tiga anak kecil-kecil. Kuketuk pintu dan kuucapkan salam, sambil mnerangkan maksud kedatanganku membawa keinginan dari istriku yang sedang mengidam. Ia tampak terkejut, lalu berkata pelan. “Saudara Ali, memang aku sedang memasak daging unta. Akan tetapi, itu hanya halal bagiku dan anak-anak. Bagimu dan istrimu haram.” Mengapa? Aku tak kalah terkejut.
“Kami sudah tiga hari tidak makan. Hampir mati kelaparan. Tadi pagi anakku menemukan bangkai unta tergeletak dibawah rumpun. Kami kerat daging pahanya, dan kami masak sekedar menghilangkan rasa lapar,” jawabnya.
Mendengar itu aku berlari pulang, kuambil 350 dirham untuk bekal haji. Ku berikan keada tetangga yang terpaksa memakan bangkai daging unta. Aku ingat sabda Rasulullah saw. Yang menyatakantidak akan masuk surga orang yang tidur dengan perut kekenyangan sedangkan tetangganya kelaparan. Biarlah akau tidak jadi berhaji tahun ini, asal tetanggaku tertolong,” Ali al Muwaffaq mengakhiri kisahnya.
Abdullah bin Mubarrak meneteskan air matanya dan bergumam, “Malaikat-malaikat itu berbicara benar dalam mimpiku, dan Penguasa Alam Semesta benar-benar Maha Adil pertimbangan-Nya. Sumber : “Kitab Tadzkiratul Aulia” Fariduddin Attar (1110-1220 M).

SUFI KAYA DAN SUFI MISKIN


Oleh Soeroso Dasar (PR : 11 Ramadan 1432 H / 11 Agustus 2011)

Syahdan pada suatu masa, hidup seorang syekh yang sangat sederhana, bahkan cenderung memelas di jazirah Arab. Syekh itu dikenal dan dicintai oleh masyarakat bukan karena harta dan tampannya, melainkan budi pekertinya. Shari-hari, ia adalah seorang nelayan yang pergi menangkap ikan di laut.
Sepulangnya dari laut, sang syekh langsung membersihkan ikan hasil tangkapannya. Semua daging ikan dibagikan kepada para kerabat dan tetangga, sedangkan kepala dan tulang ikan disisakan untuk dimakan sendiri.karena sifatnya begitu sosial dan hanya memakan kepala ikan, ia dikenal dengan panggilan syekh kepala ikan.
Syekh adalah seorang sufi, menggelar pengajian dan mempunyai banyak santri. Setelah kembali dari melaut, ia berubah fungsi menjadi guru ngaji. Suatu ketika, menjelang masa liburan, seorang santrinya ingin pergi ke Mursia (Spanyol), yang secara kebetulan sang syekh pernah berguru disana.
Ketika santrinya menyampaikan hasrat untuk pergi ke Mursia, syekh menjawab, “Disana ada guruku, dan tolong kamu mampir ke tempat guruku nanti,” kata syekh kepala ikan. Haripun berlalu dan berganti bulan. Sang santri pergi ke Mursia dan tidak lupa mampir ke rumah guru syekh kepala ikan.
Apa yang terjadi? Santri terkejut karena ternyata ia sudah berada di sebuah rumah yang mirip istana. Mungkinkan seorang sufi hidup di rumah demikian megah dengan segala ornamen, pelayan cantik, dan sajian begitu lezat?
Masih dalam keadaan kebingungan mencari jawaban, setelah menyantap hidangan, santri pun berpamitan pulang. Sang empunya rumah berkata, “Bagaimana? Apa kabar gurumu syekh kepala ikan itu?” “Alhamdulillah sehat, salam dari guru kamu syekh kepala ikan,” jawab santri. Lantas sang empunya rumah berkata, “Sampaikan salam saya, dan katakan kepada gurumu jangan terlalu memikirkan dunia.”
Ucapan guru syekh kepala ikan terakhir ini membuat santri semakin bingung sepanjang jalan saat pulang dari Mursia. Mungkinkah seorang yang begitu kaya raya pantas mengatakan kepada orang miskin dan bersahaja agar ia jangan terlalu memikirkan dunia?
Lebih membingungkan lagi, ketika ucapan gurunya disampaikan kepada syekh kepala ikan, ia mengatakan ucapan gurunya itu benar. “Menjalani hidup sebagai seorang sufi bukan berarti harus hidup miskin. Yang penting hati kita tidak terikat oleh harta, dan tetap terpaut kepada Alah,“ ucap syekh kepala ikan.
Kemudian diketahui, syekh akbar gurunya syekh kepala ikan adalah Muhyi al-Din Ibn ‘Arabi, seorang sufi besar dan cukup cemerlang dalam sejarah perkembangan tasawuf. Kisah ini secara tegas menggambarkan dua hal. Pertama, menjadi orang kaya tidak berarti harus jauh dari kehidupan sufi. Kedua, menjadi seorang miskin tidak otomatis mendekatkan dia pada kehidupan sufistik.
Penggalan kisah seorang sufi yang menggetarkan hati disampaikan oleh sahabt penulis Dr. H. Darun Setiadi, seorang sosiolog, dosen, dan peneliti senior di UIN Bandung, dalam diskusi dengan penulis di Laboratorium Manajemen Fakultas Ekonomi Unpad, beberapa waktu lalu.
Kita sepakat, kehidupan tasawuf adalah membiarkan tangan sibuk mengurus dunia, hati sibuk mengingat Allah SWT. Kegiatan duniawi tidaklah buruk, yang buruk itu adalah gara-gara kegiatan duniawi membuat lupa dan abai kepada Allah SWT. Memang selama ini telah terjadi perdebatan, mana yang lebih baik orang kaya yang selalu bersyukur serta membantu kepentingan orang banyak, atau orang miskin yang sabar dengan kemiskinannya? Rasulullah saw. Pernah bersabda, “Sebaik-baiknya umatku adalah yang bermanfaat untuk orang lain.”
Sungguh sayang, mencari figur seperti syekh kepala ikan saat ini begitu sulit, bahkan tidak ada sama sekali. Yang ada adalah orang-orang yang menggendutkan perutnya sendiri di tengah begitu banyak rakyat jelata.
Cukup sulit juga untuk mencari orang seperti Muhyi al-Din ‘Arabi, yang tangannya di atas membantu orang tanpa pamrih. Kalaulah perilaku dan pribadi seperti kedua mereka banyak hadir di tengah proses pembangunan bangsa, rasanya kondisi kita tidak akan separah ini.
Begitu banyak hrta rakyat lenyap dirampok mereka yang tidak bertanggung jawab. Padahal, bila dana itu utuh, baik dalam proses pemungutan maupun pendistribusiannya,  tentu bermanfaat bagi pembangunan dan peningkatan peradaban manusia. Semoga ramadan ini mampu mengetuk hati mereka, bahwa bermanfaat bagi orang lain adalah manusia terbaik di kaki langit.

SEDEKAH YANG DISESALI

Oleh UST. Yusuf Mansur (PR : 2 Ramadan 1432 H / 2 Agustus 2011)
Diriwayatkan, seorang shahababiyah (kalangan sahabat Nabi dari perempuan) baru saja kehilangan suaminya. Setelah upacara pemakaman, masih dengan suasana hati yang diliputi dukacita ia mendekat ke sisi Nabi saw. Dan bertanya dengan setengah berbisik.
Ya Rasulullah, di detik-detik menjelang kepergian suamiku, dalam sekaratnya ia memberikan isyarat supaya aky mendekat. Akupun mendekatkan diri kepadanya untuk mendengarkan apa yang akan dikatakannya.
Akan tetapi, yang aku dengar adalah ucapan-ucapan yang sama sekali tidak aku mengerti. Ia berkata, “Ah seandainya yang baru, ah seandainya semuanya, dan ah seandainya masih jauh”.
Apakah ucapan suami saya itu semacam wasiat ya Rasulullah? Akan tetapi, aku benar-benar tidak mengerti dengan apa yang dia maksudkan.
Rasulullah terdiam sejenak sembari tersenyum  beliau bersabda, “Pernah suatu hari, suamimu berbelanja ke pasar. Ia membeli sebuah mantel baru. Dalam perjalanan pulang ke rumah, ia melihat seseorang yang duduk terpojok di sudut jalan. Ia meringkuk tampak sangat kedinginan. Suamimu menjadi iba dan kemudian memberikan mantelnya yang lama.
Dalam sekaratnya, ia diperlihatkan oleh Allah swt. Balasan pahala dari amalannya itu. Ketika melihat penampakan balasan dari Allah, sekonyong-konyong timbul rasa sesal dalam dirinya. Mengapa ia tidak memberikan saja mantelnya yang baru, tentu balasan dari Allah akan lebih besar. Ia pun berkata, ah, seandainya yang baru!
Nabi saw. Melanjutkan, “Pernah suatu hari lagi, suamimu kembali dari pasar. Rezeki yang ia dapatkan hari itu ia belikan sepotong roti. Ia berencana membawakannya untukmu dan keluarga. Namun, dalam perjalanan, ia melihatseseorang yang terbaring lemah karena lapar. Ia pun menjadi iba dan memberikan sebagian roti kepada seseorang yang berbaring itu. Sebagiannya lagi ia bawa pulang.
Dalam sekaratnya, ia diperlihatkan oleh Allah balasan dari amalannya itu. Ia pun kembali menyesal, andaikan saja ia memberikan semuanya, pasti balasan Allah lebih besar lagi. Ia pun berkata, “Ah seandainya semuanya.”
Selanjutnya, “Dihari yang lain, suamimu dalam perjalanan menuju masjid, dengan arah yang sama ditemuinya seorang tua yang tampak kepayahan dan tertatih-tatih melangkahkan kakinya. Suamimu pun menawarkan diri untuk membantu dan digendongnya orang tua yang lemah itu menuju masjid. Ketika diperlihatkan oleh Allah balasan dari amalan perbuatannya itu, ia kembali menyesal dan berharap seandainya masjid itu lebih jauh, ia akan mendapat pahala yang lebih banyak. Dalam penyesalannya itu ia berkata, “Ah, seandainya masih jauh.”

SEBUNGKUS MAKANAN UNTUK ORANG LAPAR

Oleh H. Usep Romli H.M. (PR : 6 Ramadan 1432 H / 6 Agustus 2011)
Tersebutlah kisah seorang ahli ibadah. Selama tujuh puluh tahun, ia tak pernah meninggalkan tempat rukuk dan sujudnya. Ia senantiasa berdzikir dan menyepi memuji Allah swt. Karena ketekunannya itu, orang-orang menganggapnya sebagai ahli surga.
Namun, pada suatu saat, ia terjebak ke dalam perbuatan maksiat. Semua bermula dari rasa was-was dan jenuh. Sebagai manusia, memang ia tidak luput dari kekhilafan. Al Insaanu Mahallu-Ikhathaa’ wannisyaan (manusia merupakan tempatnya salah dan lupa). Tujuh hari sudah ia melakukan hal-hal yang bertentangan dengan nilai ibadahnya selama tujuh puluh tahun tersebut.
Ketika muncul kesadaran, segera ia bertobat. Tempat beribadah selama tujuh puluh tahun itu ia tinggalkan. Sang ahli ibadah berjalan kemana saja, sambil menyesali perbuatan dosa yang ia kerjakan selama tujuh hari itu. Di tengah perjalanan, ia kehabisan bekal. Berhari-hari ia puasa. Untuk berbuka, ia hanya mengandalkan air minum di pinggir jalan yang ia lalui.
Syahdan, tibalah ia di suatu tempat saat seorang dermawan menyumbangkan makanan kepada fakir miskin. Ia mendapat bagian. Sebungkus makanan terakhir. Tiba-tiba, datanglah seorang tua yang tengah kelaparan. Namun, tempat pembagian sudah tutup. Semburat kesedihan tertampak jelas diwajah si oarang tua. Tampaknya juga rasa penyesalan karena ia datang terlambat.  Bagaimana dapat berjalan cepat jika tubuh lesu lunglai?
Menyaksikan keadaan demikian, sang ahli ibadah yang sedang bertobat itu meneyrahkan bungkusan miliknya kepada orang tua kelaparan itu. Ia berkata, “ini makanan  rezeki anda, wahai pak tua. Makanlah agar anda kembali bertenaga”.
Beberapa waktu kemudian, sang ahli ibadah itu wafat. Di akhirat, ternyata timbangan amal ibadahnya selama tujuh puluh tahun itu kalah berat dibandingkan dengan dosa kemaksiatan yang ia lakukan meskipun hanya selama tujuh hari. Namun, pahala memberikan sebungkus makanan kepad orang tua yang kelaparan, ternyata lebih berat lagi. Pahala itu mampu menghapus dosa maksiat tujuh hari yang menodai tujuh puluh tahun ibadahnya.
Orang-orang menyangka, ia sebagai ahli surga berkat ketekunan ibadah selama tujuh puluh tahun. Tak ada yang menyangka bahwa ia menjadi ahli surga lantaran kemurahannya membebaskan si orang tua dari kelaparan meskipun dengan sebungkus makanan. (Dari kitab Sifatu-shshafwah karya Imam Abdurrahman Ibn Aljauzi).

Sebuah Peringatan kepada Penguasa

Oleh H. Usep Romli H.M. (PR : 23 Ramadan 1432 H / 23 Agustus 2011)
Kejayaan umat Islam mulai menampakkan gejala kemerosotan pada abad 5-6 Hijriyah (11-12). Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi, kebudayaan, dan militer, yang tersebar dari Bagdad (Dinansti Abbassiyah) dan Spanyol (Dinasti Umayyah Andalusia), tidak diimbangi oleh ketahanan moral.
Kebobrokkan akhlak tersebar di segala bidang kehidupan. Ketinggian material menyeret manusia kembali ke perilaku jahil. Padahal, perjuangan Nabi Muhammad saw. Menghapus kebodohan mental spiritual, sebagaimana sabdanya, ”Innama buitstu li utami makarimal akhlak” (sesungguhnya aku diutus untuk mewujudkan akhlak mulia).
Para sejarawan klasik, seperti Ibnu Katsir (abad 13), penulis kitab Bidayah wan Nihayah, Ibnu Atsir (abad 13), penulis Tarikh Bagdad menggambarkan situasi muram itu. Islam hanya dijadikan seremoni dan simbol belaka. Banyak tokoh menyandang nama yang dinisbahkan kepada Allah SWT, Muhammad Rasulullah saw. Dan Islam – seperti Alallah, Muhammad, Dien – tetapi tak disertai praktik nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Bahkan, nama-nama tersebut cenderung sekadar untuk menutupi kemaksiatan yang merajalela. Terutama korupsi, kolusi, nepotisme, hura-hura bermewah-mewah. Sementara rakyat dibiarkan dalam keadaan menderita, kelaparan, dan kehausan.
Solidaritas, kedermawanan, belas kasih benar-benar telah lenyap. Ketika rakyat berjalan kian kemari mencari setitik air, para elite negeri malah menghambur-hamburkan air untuk menyiram taman mereka, membasahi gelas kristal pada pesta mereka.
Menyaksikan hal itu, bangkitlah Imam Ghazali (450 – 505 H./1058-111 M). Ulama terkenal zuhud (sederhana) dan wara (bersih) ini menulis surat kepada Mujiruddin, Gubernur Thus yang merupakan kepercayaan Sultan Maliksyah, penguasa Khurasan, kawasan otonomi Bagdad. “Jangan terlambat mengumpulkan kebajikan untuk bekal hidup di akhirat kelak,” tulis Al Ghazali.
“Kebajikan paling utama saat ini adalah menghapus kemiskinan dan kekejaman yang mencengkeram rakyat. Kekuasaan yang Anda genggam sangat memungkinkan bagi Anda membasmi KKN sekaligus menjunjung tinggi martabat rakyat. Sebab, rakyat adalah sumber kekuasaan dan kemakmuran negara kita.
Pasti Anda tidak tahu kondisi rakyat sekarang, mengingat pandangan, pendengaran, dan langkah Anda sudah terhalang oleh kroni-kroni yang menggelayuti rezim Anda. Padahal, sudah bukan rahasia lagi, petugas pajak yang culas, memeras massa yang  bodoh untuk kepentingan mereka pribadi. Mereka tidak memasukkan hak-hak pemerintah – yang notabene hak rakyat – ke kas negara.
Pikirkanlah rakyat, warga setia Anda yang jiwa dan raganya remuk akibat tingkah laku aparat Anda. Sementara aparat beserta  semut-semut istana, terus bermewah-mewah. Ulah Anda, para menteri, dan elite sekeliling Anda yang hanya mengharapkan tetesan manis gula, tanpa peduli derita rakyat yang tiap saat menghisap pabit empedu, merupakan salah satu ancaman bagi eksistensi negara, yang dapat meruntuhkan kemegahan Khurasan dan Bagdad hanya dalam sekejap.
Terkecuali jika Anda segera sadar dan meelakukan perbaikan menyeluruh, karena kewenangan penuh masih berada di tangan Anda. Jangan biarkan perasaan sombong, penjagaan citra, dan ketakutan kehilangan dukungan dari kroni Anda, membiarkan Anda hanyut dalam ilusi dan mimpi kemajuan bangsa dan negara.
Sadarlah, bangsa dan negara kita sudah berada di titik terendah, karena rakyat sudah lama diimpit kemiskinan dan ketidakadilan. Semoga Allah SWT menolong Anda, dan membukakan pintu anugerah-Nya bagi Anda dalam mencapai kebahagiaan duniawi dan surgawi, jika Anda mampu mendapat pencerahan jiwa dengan melepaskan diri dari buaian para kroni dan rezim yang hanya ingin memanfaatkan kekuasaan Anda dan bertindak seolah-olah melindungi dan menopang kekuasaan Anda. Padahal, mereka lemah tak punya daya.”
Menutup suratnya yang tajam dan keras, Al Ghazali mengutip Alquran, surah Al Ankabut ayat 41, “Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allahswt, ibarat laba-laba yang membuat rumah. Sesungguhnya rumah paling lemah adalah rumah laba-laba, jika engkau mengetahui.

SANG PENGEJAR HARTA YANG MASUK SURGA

Oleh Deni Tresnahadi (PR : 20 Ramadan 1432 H / 20 Agustus 2011)
Siapapun dapat masuk surga dengan potensi yang nereka miliki. Inilah yang dibuktikan oleh Abdurrahman bin Auf. Ia memiliki latar belakang perjuangan yang berbeda dengan tiga sahabat sebelumnya. Ia adalah ahli surga yang berasal dari kalangan pebisnis. Kecerdasannya dalam berbisnis membuat segala hal yang ia lewati menjadi peluang. Bahkan, ketika memindahkan sebuah batu ia berharap di bawah batu itu terdapat emas dan perak. Betapa ia sangat bersemangat dalam mencari uang. Lalu mengapa pengejar harta seperti Abdurrahman bin Auf dapat masuk surga bersama Isa bin Maryam?
Abdurrahman bin Auf termasuk garda terdepan penerima ketauhidan yang dibawa oleh Rasulullah saw. Ia adalah sahabat Abubakar dan termasuk orang kelima yang diislamkan olehnya. Sebagai seorang pengusaha, ia tidak apatus dengan peperangan. Ia mendapatkan 20 hujaman dan giginya rontok dalam perang Uhud. Ia menyadari, pengorbanan yang harus diberikan kepada Islam bukan hanya harta tetapi juga jiwa.
Berhijrah ke Habasyah adalah salah satu tugasnya dalam menjalankan roda dakwah Rasulullah saw. Sesungguhnya hijrah yang pertama dilakukan oleh kaum Muslimin adalah ke Habasyah. Mereka berpindah karena gangguan dari kaum musyrikin Quraisy yang semakin menjadi. Ada yang menganggap kepergiannya adalah refleksidari kegentarannya menghadapi ujian keimanan. Namun, Allah swt. Menjelaskan, hijrah adalah sesuatu yang diharuskan jika tantangan di tempat asal sudah sangat besar.
Dengan kemampuannya dalam berbisnis, Abdurrahman bin Auf juga membawa seluruh kekayaannya ketika berhijrah ke Madinah. Di perjalanan kekayaannya dirampas oleh Quraisy, penguasa Mekah. Ia dan Suhaib Arrumi kehilangan seluruh harta kekayaannya.
Dalam keadaan demikian, Abdurrahman bin Auf tidak menyerah. Rasulullah saw. Mempersaudarakan orang-orang yang berhijrah yang kebanyakan pedagang dengan orang-orang asli Madinah yang mayoritas petani. Di Madinah, Abdurrahman bin Auf dipersaudarakan dengan Sa’ad ibnu Arabi Alausani. Ia memberikan sebagian harta dan menawarinya seorang calon istri. Abdurrahman bin Auf hanya berkata, “Semoga Allah swt. Memberkahi hartamu dan keluargamu, tunjukkanlah kepadaku di mana pasar.”
Abdurrahman bin Auf memang pebisnis yang andal. Dengan modal secukupnya ia berjualan keju dan minyak samin, bangkit dan mampu menikah dengan salah satu perempuan Anshor. Setelah menikah dengan memberi mahar sebutir emas (seberat sebutir kurma) Rasulullah saw. Memintanya mengadakan walimah. Ini adalah pertanda, pernikahan sesederhana apa pun harus dilanjutkan dengan walimah meskipun hanya dengan menyembelih seekor kambing.
Rasulullah saw. Juga sangat menghargai kemandirian Abdurrahman bin Auf dalam hal ekonomi. Rasulullah saw, bersabda, “Seorang yang mencari kayu lalu memanggulnya lebih baik daripada orang yang mengemis yang kadangkala diberi atau ditolak. (H.R. Bukhari)
Pesan ini membuat seluruh Muslimin yang ada di Madinah bangkit dan bekerja menjadi petani, pedagang, dan buruh. Tidak ada seorang pun yang menganggur, termasuk kaum perempuan.
Dalam beberapa waktu, Abdurrahman bin Auf menjadi orang kaya dan Rasulullah saw, berkata kepadanya, “Wahai Abdurrahman bin Auf, kamu sekarang menjadi orang kaya dan kamu akan masuk surga dengan merangkak(mengingsut). Pinjamkanlah hartamu agar lancar kedua kakimu”(H.R. Al-Hakim).
Pernyataan itu membuat Abdurrahman bin Auf berpikir keras dan banyak menginfakkan hartanya di jalan Allah swt. Ia berkata, “Kalau bisa aku ingin masuk surga dengan melangkah (berjalan kaki)”. Ia berlomba dengan pebisnis lain, yaitu  Ustman bin Affan dalam bersedekah. Abdurrahman bin Auf memberikan separuh hartanya untuk dakwah Rasulullah saw.
Rasulullah saw. Berkata, “Semoga Allah swt. Memebrkahi apa yang kamu tahan dan kamu berikan.“ Abdurrahman bin Auf hartanya menjadi berlipat ganda sehingga ia tak pernah merasa kekurangan.
Setelah Abdurrahman bin Auf bersedekah, turunlah firman Allah swt, “Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah swt. Kemudian ia tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan menyakiti perasaan(si penerima), mereka mendapat pahala di sisi Robb mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula merasakan bersedih hati.”
Sebelum wafat, Abdurrahman bin Auf menginfakkan 400 dinar hartanya untuk peserta perang Badar  yang masih hidup. Setiapa orang mendapatkan 4 dinar termasuk Ali r.a. dan Ustman r.a. Ia juga memberikan hadiah kepada Umul Mukminin (janda-janda Nabi saw). Aisyah r.a. pun berdoa untuknya, “Semoga Allah swt. Memberi mi num kepadanya air dari mata air salsabila di surga”.
Abdurrahman bin Auf wafat dalam usia 75 tahun. Ia disolatkan oleh saingannya dalam berinfak di jalan Allah swt, yaitu Ustman r.a. Ia di usung oleh Sa’ad bin Abi Waqqas ke pemakaman Albaqi. Setelah Abdurrahman bin Auf wafat, Ali berkata, “Pergilah wahai Ibnu Auf, kamu telah memperoleh kejernihan dan meninggalkan kepalsuan (keburukannya)”. (H.R. Al-Hakim)
Abdurrahman bin Auf telah genap memperoleh segala kebaikan dari hartanya, dan mening-galkan segala keburukan yang ada pada harta dunia.