Selasa, 21 Februari 2012

Kejadian Maut yang Lucu

       Saya adalah Agus Setiawan. Seorang mahasiswa. Waktu itu, terjadi sebuah event yang disebut "Konferensi Pendidikan Dasar". Ya, bisa disingkat kopendas. Tempat event itu di Islamic Centre. Saya mengalami sebuah kejadian lucu, tapi kejadian itu tidak menimpa saya melainkan teman saya bernama Dita sesama mahasiswa di UPI Kampus Sumedang. Cerita seperti ini :
       Kami semua mahasiswa UPI Kampus Sumedang waktu itu ikut sebuah acara yaitu kopendas yang tadi di atas disebutkan. Karena rasanya membosankan harus duduk berjam-jam dari pagi sampai sore, saya memutuskan untuk pulang saja pada saat waktu siang menjelang. Adapun teman-teman saya yang mungkin serupa sama bosan mereka pun ikut pulang.
       Setelah kita berembuk dan akhirnya memutuskan untuk pulang. Pada waktu itu kira-kira ada dua motor. Motor pertama saya bonceng satu, sedangkan teman saya Dita bonceng dua. Disinilah kejadian lucunya, saya tidak ingat nama tempatnya tapi disana ada sebuah jembatan. Kondisinya begini teman saya yang berbonceng dua tersebut mau menyalip sebuah mobil angkot, sedangkan angkot itu juga sedang menyalip mobil lain. 
       Karena tidak terlihat, di depannya ternyata sudah ada trotoar pembatas jalur kanan dan kiri. Sebenarnya mobil angkot itu juga hampir menabrak pembatas itu, tapi masih bisa berbelok ke arah kiri. Tetapi teman saya Dita karena mungkin "kagok", dia langsung mengambil jalur kanan yang berbeda arah. Di depannya sudah ada mobil "Pertamina" yang besar membunyikan klakson, tapi karena dia mahir mengendarai motornya akhirnya bisa lolos dari maut. Dan akhirnya kembali ke jalur kiri.Lucunya kedua teman yang dia bonceng shock karena kejadian itu. 
       Itulah cerita dari saya, jikalau saja melihat langsung mungkin kalian akan tertawa.

Selasa, 07 Februari 2012

TAK JADI BERHAJI DEMI PERUT TETANGGA

Oleh H. Usep Romli H.M. (PR : 15 Ramadan 1432 H / 15 Agustus 2011)
Seusai musim haji, Abdullah bin Mubarak, seorang ulama termasyhur abad ke-12 (1118 M/797 H) tertidur dekat Multazam. Ia seolah-olah mendengar dua malaikat bercakap-kacap, “Ada enam ratus ribu jemaah haji tahun ini. Namun, tidak seorang pun yang mabrur, yang hajinya diterima,” kata malaikat yang satu.
“Ada, seorang. Walaupun tidak datang kesini, tetapi Allah SWT. Berkenan memberinya ganjaran haji mabrur,” kata malaikat yang satu lagi.
“Siapa dia?”
“Ali al Muwaffaq, tukang sepatu miskin di Damaskus.”
Abdullah bin Mubarrak terkejut. Begitu bangun, segera bersuci. Segera melaksanakan tawaf wada dan segera berangkat ke Damaskus, ingin bertemu Ali al Muwaffaq. Ingin tahu amal apa yang ia lakukan sehingga mendapat ganjaran haji mabrur tanpa datang ke Mekkah. Padahal enam ratus ribu orang yang melakukan wukuf di Arafah, jumrah di Mina dan rukun serta wajib haji lain, malah mardud. Tertolak hajinya.
Setelah Abdullah bersusah payah menempuh perjalanan Mekah-Damaskus, juga berkeliling ke seluruh pelosok kota bekas pusat Dinasti Umayyah (610-750 M) itu. Akhirnya Ali al Muwaffaq dapat dijumpai. Sehabis mengucapkan salam dan istirahat sebentar, Abdullah memohon agar Ali al Muwaffaq mengisahkan amal perbuatan yang menyebabkannya mendapat ganjaran haji mabrur tanpa mengikuti ritus haji di Mekah pada saatnya.
Semula, Ali bungkam membisu. Namun, setelah terus didesak, akhirnya dia mau juga berbicara :
“Tiga puluh tahun aku menabung untuk mengumpulkan biaya perjalanan haji. Sangat susah payah mengingat penghasilanku sebagai pembuat sepatu, amat  minim. Tahun ini tabunganku genap 350 dirham. Cukup untuk sekedar bekal dengan cara menghemat dan sederhana. Nah, semalam sebelum keberangkatan, istriku sedang mengidam, mencium harum masakan dari rumah tetangga sebelah. Ia merengek-rengek agar aku memintakan sedikit daja dari hidangan yang menggiurkan itu.”
“Maka ku datangi rumah tetanggaku. Seorang janda miskin dengan tiga anak kecil-kecil. Kuketuk pintu dan kuucapkan salam, sambil mnerangkan maksud kedatanganku membawa keinginan dari istriku yang sedang mengidam. Ia tampak terkejut, lalu berkata pelan. “Saudara Ali, memang aku sedang memasak daging unta. Akan tetapi, itu hanya halal bagiku dan anak-anak. Bagimu dan istrimu haram.” Mengapa? Aku tak kalah terkejut.
“Kami sudah tiga hari tidak makan. Hampir mati kelaparan. Tadi pagi anakku menemukan bangkai unta tergeletak dibawah rumpun. Kami kerat daging pahanya, dan kami masak sekedar menghilangkan rasa lapar,” jawabnya.
Mendengar itu aku berlari pulang, kuambil 350 dirham untuk bekal haji. Ku berikan keada tetangga yang terpaksa memakan bangkai daging unta. Aku ingat sabda Rasulullah saw. Yang menyatakantidak akan masuk surga orang yang tidur dengan perut kekenyangan sedangkan tetangganya kelaparan. Biarlah akau tidak jadi berhaji tahun ini, asal tetanggaku tertolong,” Ali al Muwaffaq mengakhiri kisahnya.
Abdullah bin Mubarrak meneteskan air matanya dan bergumam, “Malaikat-malaikat itu berbicara benar dalam mimpiku, dan Penguasa Alam Semesta benar-benar Maha Adil pertimbangan-Nya. Sumber : “Kitab Tadzkiratul Aulia” Fariduddin Attar (1110-1220 M).

SUFI KAYA DAN SUFI MISKIN


Oleh Soeroso Dasar (PR : 11 Ramadan 1432 H / 11 Agustus 2011)

Syahdan pada suatu masa, hidup seorang syekh yang sangat sederhana, bahkan cenderung memelas di jazirah Arab. Syekh itu dikenal dan dicintai oleh masyarakat bukan karena harta dan tampannya, melainkan budi pekertinya. Shari-hari, ia adalah seorang nelayan yang pergi menangkap ikan di laut.
Sepulangnya dari laut, sang syekh langsung membersihkan ikan hasil tangkapannya. Semua daging ikan dibagikan kepada para kerabat dan tetangga, sedangkan kepala dan tulang ikan disisakan untuk dimakan sendiri.karena sifatnya begitu sosial dan hanya memakan kepala ikan, ia dikenal dengan panggilan syekh kepala ikan.
Syekh adalah seorang sufi, menggelar pengajian dan mempunyai banyak santri. Setelah kembali dari melaut, ia berubah fungsi menjadi guru ngaji. Suatu ketika, menjelang masa liburan, seorang santrinya ingin pergi ke Mursia (Spanyol), yang secara kebetulan sang syekh pernah berguru disana.
Ketika santrinya menyampaikan hasrat untuk pergi ke Mursia, syekh menjawab, “Disana ada guruku, dan tolong kamu mampir ke tempat guruku nanti,” kata syekh kepala ikan. Haripun berlalu dan berganti bulan. Sang santri pergi ke Mursia dan tidak lupa mampir ke rumah guru syekh kepala ikan.
Apa yang terjadi? Santri terkejut karena ternyata ia sudah berada di sebuah rumah yang mirip istana. Mungkinkan seorang sufi hidup di rumah demikian megah dengan segala ornamen, pelayan cantik, dan sajian begitu lezat?
Masih dalam keadaan kebingungan mencari jawaban, setelah menyantap hidangan, santri pun berpamitan pulang. Sang empunya rumah berkata, “Bagaimana? Apa kabar gurumu syekh kepala ikan itu?” “Alhamdulillah sehat, salam dari guru kamu syekh kepala ikan,” jawab santri. Lantas sang empunya rumah berkata, “Sampaikan salam saya, dan katakan kepada gurumu jangan terlalu memikirkan dunia.”
Ucapan guru syekh kepala ikan terakhir ini membuat santri semakin bingung sepanjang jalan saat pulang dari Mursia. Mungkinkah seorang yang begitu kaya raya pantas mengatakan kepada orang miskin dan bersahaja agar ia jangan terlalu memikirkan dunia?
Lebih membingungkan lagi, ketika ucapan gurunya disampaikan kepada syekh kepala ikan, ia mengatakan ucapan gurunya itu benar. “Menjalani hidup sebagai seorang sufi bukan berarti harus hidup miskin. Yang penting hati kita tidak terikat oleh harta, dan tetap terpaut kepada Alah,“ ucap syekh kepala ikan.
Kemudian diketahui, syekh akbar gurunya syekh kepala ikan adalah Muhyi al-Din Ibn ‘Arabi, seorang sufi besar dan cukup cemerlang dalam sejarah perkembangan tasawuf. Kisah ini secara tegas menggambarkan dua hal. Pertama, menjadi orang kaya tidak berarti harus jauh dari kehidupan sufi. Kedua, menjadi seorang miskin tidak otomatis mendekatkan dia pada kehidupan sufistik.
Penggalan kisah seorang sufi yang menggetarkan hati disampaikan oleh sahabt penulis Dr. H. Darun Setiadi, seorang sosiolog, dosen, dan peneliti senior di UIN Bandung, dalam diskusi dengan penulis di Laboratorium Manajemen Fakultas Ekonomi Unpad, beberapa waktu lalu.
Kita sepakat, kehidupan tasawuf adalah membiarkan tangan sibuk mengurus dunia, hati sibuk mengingat Allah SWT. Kegiatan duniawi tidaklah buruk, yang buruk itu adalah gara-gara kegiatan duniawi membuat lupa dan abai kepada Allah SWT. Memang selama ini telah terjadi perdebatan, mana yang lebih baik orang kaya yang selalu bersyukur serta membantu kepentingan orang banyak, atau orang miskin yang sabar dengan kemiskinannya? Rasulullah saw. Pernah bersabda, “Sebaik-baiknya umatku adalah yang bermanfaat untuk orang lain.”
Sungguh sayang, mencari figur seperti syekh kepala ikan saat ini begitu sulit, bahkan tidak ada sama sekali. Yang ada adalah orang-orang yang menggendutkan perutnya sendiri di tengah begitu banyak rakyat jelata.
Cukup sulit juga untuk mencari orang seperti Muhyi al-Din ‘Arabi, yang tangannya di atas membantu orang tanpa pamrih. Kalaulah perilaku dan pribadi seperti kedua mereka banyak hadir di tengah proses pembangunan bangsa, rasanya kondisi kita tidak akan separah ini.
Begitu banyak hrta rakyat lenyap dirampok mereka yang tidak bertanggung jawab. Padahal, bila dana itu utuh, baik dalam proses pemungutan maupun pendistribusiannya,  tentu bermanfaat bagi pembangunan dan peningkatan peradaban manusia. Semoga ramadan ini mampu mengetuk hati mereka, bahwa bermanfaat bagi orang lain adalah manusia terbaik di kaki langit.

SEDEKAH YANG DISESALI

Oleh UST. Yusuf Mansur (PR : 2 Ramadan 1432 H / 2 Agustus 2011)
Diriwayatkan, seorang shahababiyah (kalangan sahabat Nabi dari perempuan) baru saja kehilangan suaminya. Setelah upacara pemakaman, masih dengan suasana hati yang diliputi dukacita ia mendekat ke sisi Nabi saw. Dan bertanya dengan setengah berbisik.
Ya Rasulullah, di detik-detik menjelang kepergian suamiku, dalam sekaratnya ia memberikan isyarat supaya aky mendekat. Akupun mendekatkan diri kepadanya untuk mendengarkan apa yang akan dikatakannya.
Akan tetapi, yang aku dengar adalah ucapan-ucapan yang sama sekali tidak aku mengerti. Ia berkata, “Ah seandainya yang baru, ah seandainya semuanya, dan ah seandainya masih jauh”.
Apakah ucapan suami saya itu semacam wasiat ya Rasulullah? Akan tetapi, aku benar-benar tidak mengerti dengan apa yang dia maksudkan.
Rasulullah terdiam sejenak sembari tersenyum  beliau bersabda, “Pernah suatu hari, suamimu berbelanja ke pasar. Ia membeli sebuah mantel baru. Dalam perjalanan pulang ke rumah, ia melihat seseorang yang duduk terpojok di sudut jalan. Ia meringkuk tampak sangat kedinginan. Suamimu menjadi iba dan kemudian memberikan mantelnya yang lama.
Dalam sekaratnya, ia diperlihatkan oleh Allah swt. Balasan pahala dari amalannya itu. Ketika melihat penampakan balasan dari Allah, sekonyong-konyong timbul rasa sesal dalam dirinya. Mengapa ia tidak memberikan saja mantelnya yang baru, tentu balasan dari Allah akan lebih besar. Ia pun berkata, ah, seandainya yang baru!
Nabi saw. Melanjutkan, “Pernah suatu hari lagi, suamimu kembali dari pasar. Rezeki yang ia dapatkan hari itu ia belikan sepotong roti. Ia berencana membawakannya untukmu dan keluarga. Namun, dalam perjalanan, ia melihatseseorang yang terbaring lemah karena lapar. Ia pun menjadi iba dan memberikan sebagian roti kepada seseorang yang berbaring itu. Sebagiannya lagi ia bawa pulang.
Dalam sekaratnya, ia diperlihatkan oleh Allah balasan dari amalannya itu. Ia pun kembali menyesal, andaikan saja ia memberikan semuanya, pasti balasan Allah lebih besar lagi. Ia pun berkata, “Ah seandainya semuanya.”
Selanjutnya, “Dihari yang lain, suamimu dalam perjalanan menuju masjid, dengan arah yang sama ditemuinya seorang tua yang tampak kepayahan dan tertatih-tatih melangkahkan kakinya. Suamimu pun menawarkan diri untuk membantu dan digendongnya orang tua yang lemah itu menuju masjid. Ketika diperlihatkan oleh Allah balasan dari amalan perbuatannya itu, ia kembali menyesal dan berharap seandainya masjid itu lebih jauh, ia akan mendapat pahala yang lebih banyak. Dalam penyesalannya itu ia berkata, “Ah, seandainya masih jauh.”

SEBUNGKUS MAKANAN UNTUK ORANG LAPAR

Oleh H. Usep Romli H.M. (PR : 6 Ramadan 1432 H / 6 Agustus 2011)
Tersebutlah kisah seorang ahli ibadah. Selama tujuh puluh tahun, ia tak pernah meninggalkan tempat rukuk dan sujudnya. Ia senantiasa berdzikir dan menyepi memuji Allah swt. Karena ketekunannya itu, orang-orang menganggapnya sebagai ahli surga.
Namun, pada suatu saat, ia terjebak ke dalam perbuatan maksiat. Semua bermula dari rasa was-was dan jenuh. Sebagai manusia, memang ia tidak luput dari kekhilafan. Al Insaanu Mahallu-Ikhathaa’ wannisyaan (manusia merupakan tempatnya salah dan lupa). Tujuh hari sudah ia melakukan hal-hal yang bertentangan dengan nilai ibadahnya selama tujuh puluh tahun tersebut.
Ketika muncul kesadaran, segera ia bertobat. Tempat beribadah selama tujuh puluh tahun itu ia tinggalkan. Sang ahli ibadah berjalan kemana saja, sambil menyesali perbuatan dosa yang ia kerjakan selama tujuh hari itu. Di tengah perjalanan, ia kehabisan bekal. Berhari-hari ia puasa. Untuk berbuka, ia hanya mengandalkan air minum di pinggir jalan yang ia lalui.
Syahdan, tibalah ia di suatu tempat saat seorang dermawan menyumbangkan makanan kepada fakir miskin. Ia mendapat bagian. Sebungkus makanan terakhir. Tiba-tiba, datanglah seorang tua yang tengah kelaparan. Namun, tempat pembagian sudah tutup. Semburat kesedihan tertampak jelas diwajah si oarang tua. Tampaknya juga rasa penyesalan karena ia datang terlambat.  Bagaimana dapat berjalan cepat jika tubuh lesu lunglai?
Menyaksikan keadaan demikian, sang ahli ibadah yang sedang bertobat itu meneyrahkan bungkusan miliknya kepada orang tua kelaparan itu. Ia berkata, “ini makanan  rezeki anda, wahai pak tua. Makanlah agar anda kembali bertenaga”.
Beberapa waktu kemudian, sang ahli ibadah itu wafat. Di akhirat, ternyata timbangan amal ibadahnya selama tujuh puluh tahun itu kalah berat dibandingkan dengan dosa kemaksiatan yang ia lakukan meskipun hanya selama tujuh hari. Namun, pahala memberikan sebungkus makanan kepad orang tua yang kelaparan, ternyata lebih berat lagi. Pahala itu mampu menghapus dosa maksiat tujuh hari yang menodai tujuh puluh tahun ibadahnya.
Orang-orang menyangka, ia sebagai ahli surga berkat ketekunan ibadah selama tujuh puluh tahun. Tak ada yang menyangka bahwa ia menjadi ahli surga lantaran kemurahannya membebaskan si orang tua dari kelaparan meskipun dengan sebungkus makanan. (Dari kitab Sifatu-shshafwah karya Imam Abdurrahman Ibn Aljauzi).

Sebuah Peringatan kepada Penguasa

Oleh H. Usep Romli H.M. (PR : 23 Ramadan 1432 H / 23 Agustus 2011)
Kejayaan umat Islam mulai menampakkan gejala kemerosotan pada abad 5-6 Hijriyah (11-12). Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi, kebudayaan, dan militer, yang tersebar dari Bagdad (Dinansti Abbassiyah) dan Spanyol (Dinasti Umayyah Andalusia), tidak diimbangi oleh ketahanan moral.
Kebobrokkan akhlak tersebar di segala bidang kehidupan. Ketinggian material menyeret manusia kembali ke perilaku jahil. Padahal, perjuangan Nabi Muhammad saw. Menghapus kebodohan mental spiritual, sebagaimana sabdanya, ”Innama buitstu li utami makarimal akhlak” (sesungguhnya aku diutus untuk mewujudkan akhlak mulia).
Para sejarawan klasik, seperti Ibnu Katsir (abad 13), penulis kitab Bidayah wan Nihayah, Ibnu Atsir (abad 13), penulis Tarikh Bagdad menggambarkan situasi muram itu. Islam hanya dijadikan seremoni dan simbol belaka. Banyak tokoh menyandang nama yang dinisbahkan kepada Allah SWT, Muhammad Rasulullah saw. Dan Islam – seperti Alallah, Muhammad, Dien – tetapi tak disertai praktik nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Bahkan, nama-nama tersebut cenderung sekadar untuk menutupi kemaksiatan yang merajalela. Terutama korupsi, kolusi, nepotisme, hura-hura bermewah-mewah. Sementara rakyat dibiarkan dalam keadaan menderita, kelaparan, dan kehausan.
Solidaritas, kedermawanan, belas kasih benar-benar telah lenyap. Ketika rakyat berjalan kian kemari mencari setitik air, para elite negeri malah menghambur-hamburkan air untuk menyiram taman mereka, membasahi gelas kristal pada pesta mereka.
Menyaksikan hal itu, bangkitlah Imam Ghazali (450 – 505 H./1058-111 M). Ulama terkenal zuhud (sederhana) dan wara (bersih) ini menulis surat kepada Mujiruddin, Gubernur Thus yang merupakan kepercayaan Sultan Maliksyah, penguasa Khurasan, kawasan otonomi Bagdad. “Jangan terlambat mengumpulkan kebajikan untuk bekal hidup di akhirat kelak,” tulis Al Ghazali.
“Kebajikan paling utama saat ini adalah menghapus kemiskinan dan kekejaman yang mencengkeram rakyat. Kekuasaan yang Anda genggam sangat memungkinkan bagi Anda membasmi KKN sekaligus menjunjung tinggi martabat rakyat. Sebab, rakyat adalah sumber kekuasaan dan kemakmuran negara kita.
Pasti Anda tidak tahu kondisi rakyat sekarang, mengingat pandangan, pendengaran, dan langkah Anda sudah terhalang oleh kroni-kroni yang menggelayuti rezim Anda. Padahal, sudah bukan rahasia lagi, petugas pajak yang culas, memeras massa yang  bodoh untuk kepentingan mereka pribadi. Mereka tidak memasukkan hak-hak pemerintah – yang notabene hak rakyat – ke kas negara.
Pikirkanlah rakyat, warga setia Anda yang jiwa dan raganya remuk akibat tingkah laku aparat Anda. Sementara aparat beserta  semut-semut istana, terus bermewah-mewah. Ulah Anda, para menteri, dan elite sekeliling Anda yang hanya mengharapkan tetesan manis gula, tanpa peduli derita rakyat yang tiap saat menghisap pabit empedu, merupakan salah satu ancaman bagi eksistensi negara, yang dapat meruntuhkan kemegahan Khurasan dan Bagdad hanya dalam sekejap.
Terkecuali jika Anda segera sadar dan meelakukan perbaikan menyeluruh, karena kewenangan penuh masih berada di tangan Anda. Jangan biarkan perasaan sombong, penjagaan citra, dan ketakutan kehilangan dukungan dari kroni Anda, membiarkan Anda hanyut dalam ilusi dan mimpi kemajuan bangsa dan negara.
Sadarlah, bangsa dan negara kita sudah berada di titik terendah, karena rakyat sudah lama diimpit kemiskinan dan ketidakadilan. Semoga Allah SWT menolong Anda, dan membukakan pintu anugerah-Nya bagi Anda dalam mencapai kebahagiaan duniawi dan surgawi, jika Anda mampu mendapat pencerahan jiwa dengan melepaskan diri dari buaian para kroni dan rezim yang hanya ingin memanfaatkan kekuasaan Anda dan bertindak seolah-olah melindungi dan menopang kekuasaan Anda. Padahal, mereka lemah tak punya daya.”
Menutup suratnya yang tajam dan keras, Al Ghazali mengutip Alquran, surah Al Ankabut ayat 41, “Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allahswt, ibarat laba-laba yang membuat rumah. Sesungguhnya rumah paling lemah adalah rumah laba-laba, jika engkau mengetahui.

SANG PENGEJAR HARTA YANG MASUK SURGA

Oleh Deni Tresnahadi (PR : 20 Ramadan 1432 H / 20 Agustus 2011)
Siapapun dapat masuk surga dengan potensi yang nereka miliki. Inilah yang dibuktikan oleh Abdurrahman bin Auf. Ia memiliki latar belakang perjuangan yang berbeda dengan tiga sahabat sebelumnya. Ia adalah ahli surga yang berasal dari kalangan pebisnis. Kecerdasannya dalam berbisnis membuat segala hal yang ia lewati menjadi peluang. Bahkan, ketika memindahkan sebuah batu ia berharap di bawah batu itu terdapat emas dan perak. Betapa ia sangat bersemangat dalam mencari uang. Lalu mengapa pengejar harta seperti Abdurrahman bin Auf dapat masuk surga bersama Isa bin Maryam?
Abdurrahman bin Auf termasuk garda terdepan penerima ketauhidan yang dibawa oleh Rasulullah saw. Ia adalah sahabat Abubakar dan termasuk orang kelima yang diislamkan olehnya. Sebagai seorang pengusaha, ia tidak apatus dengan peperangan. Ia mendapatkan 20 hujaman dan giginya rontok dalam perang Uhud. Ia menyadari, pengorbanan yang harus diberikan kepada Islam bukan hanya harta tetapi juga jiwa.
Berhijrah ke Habasyah adalah salah satu tugasnya dalam menjalankan roda dakwah Rasulullah saw. Sesungguhnya hijrah yang pertama dilakukan oleh kaum Muslimin adalah ke Habasyah. Mereka berpindah karena gangguan dari kaum musyrikin Quraisy yang semakin menjadi. Ada yang menganggap kepergiannya adalah refleksidari kegentarannya menghadapi ujian keimanan. Namun, Allah swt. Menjelaskan, hijrah adalah sesuatu yang diharuskan jika tantangan di tempat asal sudah sangat besar.
Dengan kemampuannya dalam berbisnis, Abdurrahman bin Auf juga membawa seluruh kekayaannya ketika berhijrah ke Madinah. Di perjalanan kekayaannya dirampas oleh Quraisy, penguasa Mekah. Ia dan Suhaib Arrumi kehilangan seluruh harta kekayaannya.
Dalam keadaan demikian, Abdurrahman bin Auf tidak menyerah. Rasulullah saw. Mempersaudarakan orang-orang yang berhijrah yang kebanyakan pedagang dengan orang-orang asli Madinah yang mayoritas petani. Di Madinah, Abdurrahman bin Auf dipersaudarakan dengan Sa’ad ibnu Arabi Alausani. Ia memberikan sebagian harta dan menawarinya seorang calon istri. Abdurrahman bin Auf hanya berkata, “Semoga Allah swt. Memberkahi hartamu dan keluargamu, tunjukkanlah kepadaku di mana pasar.”
Abdurrahman bin Auf memang pebisnis yang andal. Dengan modal secukupnya ia berjualan keju dan minyak samin, bangkit dan mampu menikah dengan salah satu perempuan Anshor. Setelah menikah dengan memberi mahar sebutir emas (seberat sebutir kurma) Rasulullah saw. Memintanya mengadakan walimah. Ini adalah pertanda, pernikahan sesederhana apa pun harus dilanjutkan dengan walimah meskipun hanya dengan menyembelih seekor kambing.
Rasulullah saw. Juga sangat menghargai kemandirian Abdurrahman bin Auf dalam hal ekonomi. Rasulullah saw, bersabda, “Seorang yang mencari kayu lalu memanggulnya lebih baik daripada orang yang mengemis yang kadangkala diberi atau ditolak. (H.R. Bukhari)
Pesan ini membuat seluruh Muslimin yang ada di Madinah bangkit dan bekerja menjadi petani, pedagang, dan buruh. Tidak ada seorang pun yang menganggur, termasuk kaum perempuan.
Dalam beberapa waktu, Abdurrahman bin Auf menjadi orang kaya dan Rasulullah saw, berkata kepadanya, “Wahai Abdurrahman bin Auf, kamu sekarang menjadi orang kaya dan kamu akan masuk surga dengan merangkak(mengingsut). Pinjamkanlah hartamu agar lancar kedua kakimu”(H.R. Al-Hakim).
Pernyataan itu membuat Abdurrahman bin Auf berpikir keras dan banyak menginfakkan hartanya di jalan Allah swt. Ia berkata, “Kalau bisa aku ingin masuk surga dengan melangkah (berjalan kaki)”. Ia berlomba dengan pebisnis lain, yaitu  Ustman bin Affan dalam bersedekah. Abdurrahman bin Auf memberikan separuh hartanya untuk dakwah Rasulullah saw.
Rasulullah saw. Berkata, “Semoga Allah swt. Memebrkahi apa yang kamu tahan dan kamu berikan.“ Abdurrahman bin Auf hartanya menjadi berlipat ganda sehingga ia tak pernah merasa kekurangan.
Setelah Abdurrahman bin Auf bersedekah, turunlah firman Allah swt, “Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah swt. Kemudian ia tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan menyakiti perasaan(si penerima), mereka mendapat pahala di sisi Robb mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula merasakan bersedih hati.”
Sebelum wafat, Abdurrahman bin Auf menginfakkan 400 dinar hartanya untuk peserta perang Badar  yang masih hidup. Setiapa orang mendapatkan 4 dinar termasuk Ali r.a. dan Ustman r.a. Ia juga memberikan hadiah kepada Umul Mukminin (janda-janda Nabi saw). Aisyah r.a. pun berdoa untuknya, “Semoga Allah swt. Memberi mi num kepadanya air dari mata air salsabila di surga”.
Abdurrahman bin Auf wafat dalam usia 75 tahun. Ia disolatkan oleh saingannya dalam berinfak di jalan Allah swt, yaitu Ustman r.a. Ia di usung oleh Sa’ad bin Abi Waqqas ke pemakaman Albaqi. Setelah Abdurrahman bin Auf wafat, Ali berkata, “Pergilah wahai Ibnu Auf, kamu telah memperoleh kejernihan dan meninggalkan kepalsuan (keburukannya)”. (H.R. Al-Hakim)
Abdurrahman bin Auf telah genap memperoleh segala kebaikan dari hartanya, dan mening-galkan segala keburukan yang ada pada harta dunia.

PENUNGGU KEBUN YANG PEMURAH

Oleh H. Usep Romli H.M. (PR : 2 Ramadan 1432 H / 2 Agustus 2011)
       Seekor anjing tersesat ke tengah perkebunan kurma di Madinah, yang sedang berbuah. Jalannya gontai, lidahnya terjulur. Tak ada secuil pun makanan ditemukan selama menempuh perjalanan jauh selama dua hari.
       Di dekat gerbang sebuah kebun, anjing itu benar-benar ambruk. Tak dapat lagi menahan lelah, lapar, dan dahaga. Seorang penjaga berkulit hitam, melihat kejadian itu. Tergerak hatinya untuk menolong. Segera ia mengambil jatah makan siang yang dikirimkan pemilik kebun. Sekerat roti, sekerat ikan, dan semangkok air.
       Ia berjongkok. Meneteskan air ke mulut anjing yang sudah hampir pingsan itu. Setetes air yang disertai ketulusan hati pemberinya, membuat sang anjing mulai bertenaga kembali. Apalagi setelah setengah mangkuk air masuk ke tenggorokannya yang kering kerontang.
       “Anjing darimana ini? Mungkin datang dari tempat jauh , sebab di sekitar sini tidak ada anjing seekor pun,” gumam penjaga kebun, sambil mengangsurkan secabik roti ke dekat mulut anjing hingga habis semua roti jatah makan siangnya. Akan tetapi, sang anjing masih terlihat lapar. Setengah mangkuk air dan sekerat roti, baru mampu memulihkan tubuhnya saja. Belum mampu mengusir rasa lapar.
       Maka sekerat ikan yang ada, segera diberikan. Juga sisa setengah mangkuk air. Barulah sang anjing kelihatan bertenaga kembali dan cukup kuat untuk berdiri. Sang anjing mengibas-ngibaskan ekornya, seolah-olah mengucapkan terima kasih kepada penjaga kebun yang pemurah itu.
       Jika dapat berbicara, sang anjing mungkin akan berkata, “Berkat kebaikanmu memberiku makan, aku selamat dari kematian akibat kelaparan.”
       Peristiwa itu disaksikan dari awal hingga akhir oleh sahabat Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib, dari kebunnya yang berbatasan dengan kebun itu. Ia heran dan amat terkesan oleh sikap dan tindakan penjaga kebun tetangganya memberi makan anjing kelaparan. Segera ia datang ke tempat itu dan bertanya, “Wahai penjaga kebun, engkau memberikan jatah makan siangmu kepada anjing. Lantas apa yang akan engkau makan hingga selsesai bekerja sore nanti ?”
       “Tidak ada. Karena majikanku hanya memberiku jatah makan siang sekali itu saja,” jawab penunggu kebun.
       “Mengapa engkau berikan semua kepada seekor anjing , sementara engkau sendiri tak punya makanan lagi ?” tanya Abdullah.
       “Tidak apa. Aku masih kuat. Tidak merasa lapar. Jika anjing tadi mati kelaparan di sini, padahala aku punya makanan untuk menyelamatkannya dari kelaparan, tentu aku akan mendapat celaan di hadapan Mahkamah Allah swt. kelak,“ ucap penunggu kebun memberi alasan.
       Abdullah bin Ja’far terenyak. Ia diakui oleh para sahabat yang lain, sebagai orang pemurah. Suka membantu orang lain. Namun, dibandingkan dengan kemurahan penunggu kebun, kemurahannya selama ini, amat tidak berarti.
       Hari itu juga, Abdullah menemui pemilik kebun. Membeli kebun itu dengan harga tinggi. Setelah selesai akad jual-beli, segera menyerahkan kebun bersama segala isinya kepada penunggu kebun yang murah hati itu.
       “Aku memberikan kebun ini kepadamu, sebagai pertanda kemurahanku kepada orang-orang pemurah seperti engkau. Namun, kemurahanku ini masih amat tak berarti dibandingkan dengan kemurahanmu memberikan semua jatah makan siangmu untuk menyelamatkan nyawa seekor anjing yang kelaparan,” kata Abdullah kepada penunggu kebun.

PEMIMPIN BESAR TIDUR DI ATAS TIKAR

Oleh A. Hajar Sanusi ( PR : 13 Ramadan 1432 H / 13 Agustus 2011)
Dalam salah satu syairnya, Muhammad Iqbal menggambarkan kepribadian Rasulullah saw. Sebagai berikut : Sungguh hati Muslim dipatri cinta Nabi/Dialah pangkal mulia/Sumber bangga kita di dunia/Dia tidur di atas tikar kasar/Sedangkan umatnya mengguncangkan tahta Kisra/Inilah pemimpin bermalam-malam terjaga/Sementara umatnya tidur di ranjang raja-raja.
Bait-bait di atas melukiskan zuhud Rasulullah saw. Kebersahajaan dalam kehidupan duniawi memang merupakan atribut Rasulullah saw. yang sangat mengemuka. Namun, stilah zuhud kerap disalahpahami. Tidak jarang orang memahaminya sebagai pola hidup yang menolak secara total berbagai hala yang berkaitan dengan dunia. Tengok misalnya sebagian pengamal tasawuf. Ada diantara mereka yang mengasingkan diri, hidup dalam ribat-ribat di daerah terpencil, jauh dari denyut nadi kehidupan masyarakat. Mereka tidak hirau lagi dengan masalah keduniawian. Sebab menurut mereka, dunia tidak sekedar bernilai rendah dan kotor, tetapi juga dianggap sebagai penghambat jalan spiritual menuju keridhaan Allah SWT.
Padahal, hidup zuhud tidak mesti begitu. Bahkan, yang demikian itu sedah pasti tidak akan dibenarkan Islam. Bukankan agama yang satu ini menganjurkan keseimbangan (ekuilibrium) antara dunia profan dan sakral? Bukankah Al-Quran -- sebagai sumber utama ajaran Islam – memerintahkan manusia untuk berdoa agar memperoleh kesejahteraan dunia dan kebahagiaan akhirat?
Jika demikian halnya, apa sejatinya hidup zuhud itu? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, elok jika kita simak pendapat Ali bin Abi Thalib karramallaahu wajhah. Menurut sahabat yang satu ini, “Keseluruhan sifat zuhud terletak di antara dua kalimat dalam Al-Quran, yaitu firman Allah (lihat QS. Al-Hadid/57:23), yang berbunyi, Likaylaa ta’saw’alaa maa faatakum wa laa tafrahuu bimaa aataakum... (Agar kamu tidak berduka cita atas apa yang luput darimu dan tidak bersukaria atas sesuatu yang diberikan-Nya kepadamu). Barang siapa yang tidak berduka cita dan tidak bersukaria atas sesuatu yang datang, maka sesungguhnya dia telah mencakup sifat zuhud dalam arti yang sebenarnya.
Dalam kesempatan lain, Ali bin Abi Thalib mendefinisikan zuhud dengan kalimat, Anta tamliku-d dunyaa wa laa tamlikuka (Engkau memiliki dunia, tetapi dunia tidak pernah menguasaimu). Dalam pengertian inilah kita pahami sifat zuhud Rasulullah saw.
Tiga orang empu Hadis, Bukhari, Ahmad dan Ibn Majah meriwayatkan bahwa pada suatu hari Umar bin Khattab bertamu ke rumah Rasulullah saw. Sahabat sekaligus mertua itu mendapati beliau sedang duduk di atas tikar kasar dan tua. Mata Umar lantas mengamati isi ruangan, tempat ia bertemu dengan manusia agung ini. Umar tidak menemukan sesuatu apapun, kecuali yang disaksikannya, yakni tas kulit yang tergantung di dinding (untuk menyimpan beberapa genggam gandum) dan sehelai tikar yang hampir koyak itu. Saat itu, Umar tak kuasa menahan tangis. Melihat Umar menangis, Rasulullah saw. Bertanya, “Limaadza tabki, ya Ibnu-l Khaththaab (Mengapa engkau menangis, wahai putra Khattab)?” Sambil terisak, Umar menjawab, “Bagaimana aku tidak menangis, ya Rasulullah! Bukankah tikar tempat duduk Anda sudah begitu tua. Lagi pula, Anda tidak menyimpan sesuatu pun, kecuali apa yang aku saksikan saat ini. Sementara di negeri sana, Kaisar (Raja Romawi) dan Kisra (Raja Persia) -- sambil bersemayam di atas singgasana -- mereka menghadapi hidangan srta buah-buahan yang lezat, lengkap dengan perangkat hidup serba mewah. Padahal bukankah Anda ini, ya Rasulullah, seorang utusan dan kekasih-Nya?” Rasulullah menenangkan Umar dengan berkata, “Afiya syakkun, anta ya Ibnu-l khaththaaab? Ulaaika qawmun ‘ujjilat lahum thayyibatahum fi-l hyaata-d dunyaa (Apakah engkau masih ragu tentang diriku, wahai putra Khattab? Mereka itu adalah orang-orang yang disegerakan balasan atas kebajikannya dalam kehidupannya di dunia ini)”.
Demikianlah pola hidup Rasulullah saw. Jika mau, gunung Uhud pernah ditawarkan kepadanya untuk diubah jadi bongkahan emas, tetapi ditolaknya. Dengan kata lain, meskipun kunci kekayaan berada di tangan, Rasulullah saw. Tetap hidup bersahaja. Inilah dia : Pemimpin  besar tidur di atas tikar kasar. Sebuah model par excellence.

Mencintai Fakir Miskin Ala Imam Zainal Abidin

Oleh A. Hajar Sanusi  (PR : 22 Ramadan 1432 H / 22 Agustus 2011)
Imam Zaenal Abidin adalah keturunan Rasulullah saw. Ia selamat dari kebiadaban tentara Yazib bin Muawiyah ketika terjadi pembantaian terhadap Imam Husain dan para sahabatnya di Padang Karbala. Waktu itu, Imam Zainal Abidin sedang sakit yang memaksa dia tetap berada dalam kemahnya.
Sejatinya, sebutan Zainal Abidin adalah gelar yang diberikan masyarakat Muslim kepada Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib ra. Sebutan itu diperoleh cucu Fatimah al-Zahra binti Rasulullah saw. Ini karena tokoh yang satu ini selalu larut dalam pengabdian kepada Allah swt. Ia kerap kali emalkukan sujud. Karena itu pula, kulit dahi Imam tampak mengeras dan kehitam-hitaman. Bahkan tak jarang kedua telapak kaki dan tangannya membengkak lantaran berlama-lama dalam shalat.
 Selain sebutan di atas, masyarakat pun menggelarinya al Sajjad (yang amat banyak sujudnya). Putranya, Muhammad al-Baqir menjelaskan perihal sujud ayahnya, “Setiap kali ayahku teringat, atau menyebut nikmat Allah SWT, ia langsung bersujud ; Setiap kali membaca ayat-ayat Alquran yang dalamnya terdapat kata sujud, ia pun bersujud; Jika telah selesai melaksanakan shalat fardu, ia sujud juga; juga, apabila berhasil mendamaikan orang yang bertengkar, ia pun bersujud.”
Jika Imam Zainal Abidin salat malam, ia sudah tidak hirau lagi terhadap peristiwa di luar dirinya. Pernah suatu malam terjadi kebakaran di rumahnya, waktu ia sedang sujud dalam salatnya. Orang-orang di luar memanggil-manggil, “Wahai putra Rasulullah! Wahai putra Rasulullah! Api! Api sedang membakar rumah Tuan!” Namun, ia seolah-olah tidak mendengar teriakkan mereka. Hal itu tidak membuat dia bangkit dari sujudnya. Ia tetap dalam salatnya sampai api itu dapat dipadamkan. Ketika kemudian ditanyakan, mengapa ia tidak menghiraukan teriakkan-teriakkan mereka, Imam menjawab, “Api yang lebih besar dari itu (maksudnya api neraka di akhirat telah menyita seluruh perhatianku.”
Kan tetapi, harap dicatat, keasyikan dalam ibadah ritual ternyata tidak menghalangi Imam untuk menjalankan aktivitas kemasyarakatan. Untuk mudahnya, kegiatn yang disebut belakangan kita namakan saja kesalihan sosial. Seluruh aktivitas hidup Imam Zainal Abidin dapat diringkas dalam satu kalimat, “Menghambakan diri kepada Allah SWT dan berkhidmat kepada sesama manusia.”
Salah satu sifat Imam Zainal Abidin yang paling menonjol adalah kedermawanannya. Ia memang sangat pemurah. Untuk melukiskan kedermawanannya itu, seorang penyair yang termasyhur pada jamannya, Farazdaq (lihat Bagir, 1983: 57 dan 59) mengatakan, Kilta yadaihi ghiyatsun ‘amma naf’uhuma. Yustawkafani wa la ya ‘ruhuma al-‘adam. Sahl al-khaliqah la tukhsya bawadiruh. Yuzayyinuhu itsnani husn al-khulq wa al-karam. Ma qala” la” qaththillla fi tasyahhudih. Law la al-tasayhhud kana la’uhu na’am (kedua tangannya bagai hujan tercurah merata, bertebaran kebajikannya di mana-mana. Tiada keduanya hampa meski berhamburan kedermawanannya. Sederhana perangainya, tiada dikhawatirkan akibat marahnya. Kedermawanan dan akhlak mulia selalu menghiasi dirinya. Kata “tidak” tak pernah diucapkan kecuali dalam ikrar syahadat. Seandainya bukan dalam syahadat ia terpaksa, niscaya “tidak”-nya berganti dengan “ya”.
Oleh karena itu, tidak heran kalau dalam satu riwayat dikatakan, bahwa ia kerap memikul karung-karung roti dan tepung di pundaknya pada malam hari, yang kemudian dibagi-bagikan kepada penduduk miskin Madinah. Lantara dilakukan di kegelapan malam, untuk sementara waktu pihak-pihak yang dibantu tidak mengenal siapa pemberi sedekah itu. Rahasia tersebut baru terbongkar setelah Imam Zainal Abidin wafat. Sejak dia meninggal dunia, kiriman berupa “sedekah malam” itu tidak pernah datang lagi.
Imam Zainal Abidin memang amat mencintai masyarakat kelas bawah. Misalnya, orang miskin, hamba sahaya, dan kaum mustadh’afin lainnya. Ia sering kali mengunjungi mereka, duduk-duduk bersamanya, serta berbincang dengan penuh ramah dan penuh kasih sayang. Jika datang seorang peminta-minta kepadanya, ia selalu menyambut dengan kata-kata, Marhaban, ya manyahmilu zadi ila al-akhirah. Artinya, “Selamat datang wahai sahabat, yang hendak memikul bekalku menuju kampung akhirat!”.
Tidak sedikt hamba sahaya yang kemudian menjalani hidup sebagai orang merdeka lantaran usha Imam Zainal Abidin. Untuk itu, terutama pada bukan suci Ramadan, ia mengeluarkan banyak uang. Ia membeli budak-budak itu dari pemiliknya untuk kemudian mereka dimerdekakan tanpa syarat. Selain itu, Imam terkenal karena perilakunya yang lembut terhadap hamba sahaya. Sekelumit kisah di bawah ii merupakan lukisan nyata dari sifat-sifat tersebut.
Suatu ketika seorang hamba sahaya membawakan cerek tempat air wudlu untuknya. Secara tidak sengaja cerek itu tiba-tiba terlepas dari tangannya dan jatuh menimpa, bahkan melukai kepala Imam Zainal Abidin. Karena takut, hamba sahaya itu segera memohon maaf seraya berkata, “Tuanku, Allah SWT telah berfirman, Wa al-khazhimin al-ghayzha (Dan orang-orang yang menahan amarahnya).” Imam menjawab, “Baiklah, sudah aku tahan amarahku.” Sahaya itu melanjutkan bacaannya, Wa al-‘afin ‘an-nas (Dan orang-orang yang memaafkan orang lain).” “Ya , baik. Kamu telah ku maafkan, “jawabnya. Sahaya itu masih terus membaca penutup ayat tersebut, yang bunyinya, Wallahu yuhibb al-muhsinin (Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan).” Setelah selesai ayat itu dibacakan, Imam kemudian mengatakan, “Baiklah, sekarang kamu bebas pergi kemana saja. Demi meraih keridaan Allah, mulai saat ini kamu telah kumerdekakan.”
Begitulah cara Imam Zainal Abidin mencintai orang-orang kecil. Ia melakukannya, tidak cukup sekadar pengajaran dalam bentuk ucapan, melainkan juga lewat keteladanan dan amal yang nyata. Mungkin ada gunanya kita mengambil pengajaran (‘ibrah) dari kisah tersebut. Terlebih lagiketika bangsa ini mengalami kelangkaan figur teladan. Mudah-mudahan.

Malaikat pun Turun Ikut Mendengarkan

Oleh Hj. Nunung Karwati (PR : 21 Ramadan 1432 H / 21 Agustus 2011)
Usaid bin Hudhair adalah seorang pemuka Madinah saat cahaya Islam belum menerangi kota itu. Mendengar Rasulullah saw. Mengirimkan Mush’ab bin Umair untuk menyebarkan agama Islam di Madinah, segera Usaid menemui Mus’ab yang saat itu sedang membaca ayat suci Al-quran.
“Apa maksud Tuan datang ke sini? Tuan hendak memengaruhi rakyat kami yang bodoh-bodoh? Pergilah Tuan sekarang, jika Tuan masih ingin hidup!” kata Usaid dengan ketus.
Hardikan itu tidak membuat Mush’ab takut. Bahkan, dengan hormat ia menjawab, “Wahai pemimpin Madinah, silahkan duduk bersama kami, mendengarkan apa yang kami bicarakan. Jika Tuan suka apa yang kami bicarakan, silahkan ambil. Dan jika Tuan tidak suka, kami akan meninggalkan Tuan dan tidak kembali ke Kampung Anda ini.”
Usaid setuju, lalu mulai mendengarkan Mush’ab menjelaskan Islam sambil membaca ayat-ayat Al-quran. Tanpa terasa Nur Ilahi merasuk ke dalam hatinya. Rasa gembira terpancar di wajah Usaid. “Alangkah indahnya apa yang Tuan baca. Apa yang harus saya lakukan jika ingin memeluk Islam?” katanya lebih lanjut.
Di bawah bimbingan Mush’ab, Usaid masuk Islam. Sejak itu Usaid mencintai Al-quran, seperti orang mencintai kekasihnya. Pernah suatu malam, Usaid membaca Al-quran di kandang kudanya. Anaknya, Yahya yang masih kecil terlelap disampingnya. Saat itu, Usaid membaca surah Al-Baqarah ayat 1 – 4.
Ketika melanjutkan ayat-ayat suci tersebut, kudanya meringkik berputar-putar hampir memutuskan tali pengikatnya. Saat ia menghentikan bacaannya, kuda itupun terdiam. Usaid kembali melanjutkan membaca, dan kuda yang lainnya ikut meringkik dan berputar-putar. Sampai pada ujung ayat ke empat al Baqarah, Usaid menghentikan bacaannya, ingin tahu apa yang terjadi pada kudanya. Namun, dia tidak melihat apapun.
Usaid kembali melanjutkan bacaannya hingga ayat ke lima al Baqarah. Kudanya kembali meronta, berputar-putar lebih hebat lagi. Usaid pun kembali menghentikan bacaannya. Kudanya kembali terdiam. Demikianlah terjadi berulang-ulang. Setiap kali Usaid membaca Al-quran kudanya meronta, setiap kali Usaid diam kudanya juga diam.
Khawatir anaknya akan terinjak kuda yang berputar-putar, Usaid lantas pergi dari tempat itu membawa anaknya. Ketika itulah dia melihat ke langit, terlihat seberkas cahaya yang naik ke atas hingga akhirnya ia tak melihatny lagi.
Esok paginya, hal itu dia ceritakan kepada Rasulullah saw. Rasul bersabda, “Hai Abu Yahya, bayangan itu adalah malaikat yang turun mendengarkan engkau membaca Al-quran. Seandainya engkau teruskan bacaanmu hingga pagi, niscaya orng-orang akan melihat malaikat yang selama ini tidak bisa mereka lihat.” (H.R. Muslim)
Saudaraku, sudahkah kita membaca Al-quran hari ini? Bila belum, segeralah ambil Qalamullah tersebut, buka dan bacalah. Sebab, setiap huruf yang kita baca akan membuahkan satu kebaikan. Rasul bersabda, “Barang siapa membaca satu huruf dari kitab Allah, dia mendapat satu kebaikan. Dan kebaikan itu digandakaan sepuluh kali. Saya tidaka mengatakan kalau alif lam mim itu satu huruf, tetapi alif satu huruf, lam satu huruf dan mim satu huruf.” (H.R. Tirmidzi)
Ternyata, terbentang ribuan kebaikan di depan mata kita bila kita membaca Al-quran. Hanya, kita selalu silau dengan kehidupan dunia sehingga melupakan tuntunan dan petunjuk yang ada dalam Al-quran. Kita terlalu sibuk mencari harta dunia dan melupakan ada nilai yang sangat besardalam Al-quran.
Uqbah bin Amir menceritakan, “Saat kami berada di ash-Shuffah (teras Masjid Nabawi), Rasulullah saw. Keluar menemui kami. Lantas beliau bertanya, “Siapa diantara kalian yang suka berangkat ke Buthan atau Aqiq setiap hari kemudian datang membawa dua unta yang gemuk-gemuk?”. Kami pun menjwab, “Kmi semua menyukai semua itu, ya Rasulullah.”
Rasulullah kemudian bersabda, “Tidakkah kalian berangkat ke Masjid lalu belajar atau membaca dua ayat dari kitab Allah, itu lbih baik baginya daipada dua unta yang gemuk-gemuk. Tiga ayat lebih baik baginya dripada tiga unta, dan empat ayat lebih baik dibandingkan dengan empat unta dan beberapa unta.” (H.R. Muslim)
Saudaraku, masihkah kita malas untuk membaca Al-quran? Mari kita berlindung dari godaan setan yang terkutuk dan dari rasa malas, terutama malas membaca Al-quran. Semoga Allah memasukkan kiata pada golongan orang-orang yang mencintai Al-quran. Amin.

Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT

Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Head Together
  1. Penerapan Metode Mengajar
Metode adalah suatu cara kerja yang sistematika dan umum, yang berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan. Metode yang baik, makin efektif pula pencapaiannya, tetapi tidak ada satupun metode yang dilakukan paling baik atau dapat dipergunakan bagi semua macam usaha pencapaian tujuan (Rohani, 1991:111). Metode mengajar guru yang kurang baik akan mempengaruhi belajar siswa yang tidak baik pula. Metode mengajar yang kurang baik itu dapat terjadi karena kurang persiapan dan kurang menguasai bahan pelajaran sehingga guru tersebut dalam menyajikannya tidak jelas atau sikap guru atau siswa terhadap mata pelajaran itu sendiri tidak baik, sehingga siswa kurang senang terhadap mata pelajaran atau gurunya. Akibatnya siswa malas untuk belajar (Slamento, 2003:65).

  1. Proses Belajar Mengajar
Keseluruhan proses pendidikan di sekolah kegiatan belajar merupakan kegiatan yang paling pokok. Berarti bahwa berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan banyak bergantung kepada bagaimana proses belajar yang dialami oleh siswa sebagai anak didik (Slamento, 2003:1). Jika terjadi proses belajar, maka bersama itu pula terjadi proses mengajar, bila ada yang belajar, maka sudah barang tentu ada yang mengajarinya, dan begitu sebaliknya.
Sudah terjadi suatu proses atau saling berinteraksi, antara yang mengajar dengan yang belajar, sebenarnya berada pada suatu kondisi yang unik, sebab secara sengaja atau tidak sengaja, masing-masing pihak berada dalam suasana belajar. Hasil dari proses belajar mengajar (PBM) disebut hasil pengajaran atau hasil belajar, dan agar memperoleh hasil yang optimal, maka proses belajar mengajar harus dilakukan dengan sadar dan sengaja serta terorganisasi secara baik (Sadirman, 2001:19).

  1. Model Pembelajaran
Arends (1997) menyatakan bahwa model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam tutorial. Model pembelajaran mengacu pada pendekatan pembelajaran yang akan digunakan, termasuk didalamnya tujuan-tujuan pengajaran, tahap-tahap dalam kegiatan pembelajaran, lingkungan pembelajaran, dan pengelolaan kelas (Ibrahim et al, 2000:2).
Model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengoganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan aktivitas belajar mengajar (Trianto, 2007:7). Merujuk pada definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran memberikan kerangka konseptual yang menggambarkan prosedur sistematik dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar.
Fungsi model pembelajaran adalah sebagai pedoman bagi perancang pengajaran dan para guru dalam melaksanakan pembelajaran. Pemilihan model pembelajaran sangat dipengaruhi oleh sifat materi yang akan diajarkan, tujuan yang akan dicapai dalam pembelajaran tersebut, serta tingkat kemampuan peserta didik. Beberapa macam model pembelajaran yang sering digunakan guru dalam mengajar yaitu: pengajaran langsung (direct instruction), pembelajaran kooperatif, pengajaran berdasarkan masalah (problem base instruction), dan diskusi.

  1. Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif (Cooperative Learning) merupakan model pembelajaran yang mengutamakan kerjasama siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran. Pembelajaran kooperatif dicirikan oleh struktur tugas, tujuan, dan penghargaan kooperatif. Siswa yang belajar dalam kondisi pembelajaran kooperatif didorong dan atau dikehendaki untuk bekerjasama pada suatu tugas bersama, dan mereka harus mengkoordinasikan usahanya untuk menyelesaikan tugasnya.
Penerapan pembelajaran kooperatif, dua atau lebih individu saling tergantung satu sama lain untuk mencapai suatu penghargaan bersama (Ibrahim dkk, 2000:5-6). Ini berarti ada penggeseran peran guru yang sentral menuju peran guru yang mengelola aktivitas belajar siswa melalui kerja sama kelompok di kelas (Ibrahim et all, 2000:6-7). Ciri-ciri pembelajaran kooperatif yaitu:
  1. Siswa bekerja dalam kelompok secara kooperatif untuk menuntaskan materi belajarnya,
  2. Kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang, dan rendah,
  3. Bilamana mungkin, anggota kelompok berasal dari ras budaya, suku, jenis kelamin berbeda-beda,
  4. Penghargaan lebih berorientasi ketimbang individu,

Pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai setidaknya tiga tujuan pembelajaran penting (Ibrahim et all, 2000:7-9), yaitu:
  1. Hasil belajar akademik, pembelajaran kooperatif bertujuan untuk meningkatkan kinerja siswa dalam tugas-tugas akademik,
  2. Penerimaan terhadap perbedaan individu,
  3. Model kooperatif bertujuan agar siswa dapat menerima teman-temannya yang mempunyai berbagai macam perbedaan latar belakang,
  4. Pengembangan keterampilan sosial,
  5. Tujuan penting ketiga dari pembelajaran kooperatif ialah untuk mengajarkan kepada siswa keterampilan kerja sama dan kolaborasi.

Model pembelajaran kooperatif terdapat enam langkah utama yang dimulai dengan langkah guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan memotivasi siswa untuk belajar hingga diakhiri dengan langkah memberi penghargaan terhadap usaha-usaha kelompok maupun individu. Langkah-langkah pembelajaran kooperatif dari awal hingga akhir disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Langkah-Langkah Model Pembelajaran Kooperatif
Fase
Aktivitas/Kegitan Guru
Fase 1
Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa
Guru menyampaikan semua tujuan pelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar.
Fase 2
Menyajikan informasi
Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan
Fase 3
Mengorganisasi siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar
Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien
Fase 4
Membimbing kelompok bekerja dan belajar
Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas mereka
Fase 5
Evaluasi
Guru mengevaluasi hasil belajar siswa tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya
Fase 6
Memberikan penghargaan
Guru mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu maupun kelompok

Sumber: Ibrahim et all (2000: 10)

  1. Model Pembelajaran Kooperfatif tipe Numbered Head Together
Numbered Head Together (NHT) merupakan suatu pendekatan yang dikembangkan oleh Kagen (1993) untuk melibatkan banyak siswa dalam memperoleh materi yang tercakup dalam suatu pelajaran dan mengecek pemahaman mereka terhadap isi pelajaran (Ibrahim at all, 2000:28). Struktur yang dikembangkan oleh Kagen ini menghendaki siswa belajar saling membantu dalam kelompok kecil dan lebih dicirikan oleh penghargaan kooperatif dari pada penghargaan individual. Ada struktur yang memiliki tujuan umum untuk meningkatkan penguasaan isi akademik dan ada pula struktur yang tujuannnya untuk mengajarkan keterampilan sosial (Ibrahim at all, 2000:25).
Numbered Head Together dikembangkan oleh Spencer Kagen dengan melibatkan para siswa dalam mereview bahan yang tercakup dalam suatu pelajaran dan mengecek atau memeriksa pemahaman mereka mengenai isi pelajaran tersebut. Sebagai pengganti pertanyaan langsung kepada seluruh kelas, guru menggunakan struktur empat langkah sebagai berikut:
  1. Langkah 1, penomoran (numbering): guru membagi para siswa menjadi beberapa kelompok atau tim yang beranggotakan 3 hingga 5 orang dan memberi mereka nomor, sehingga tiap siswa dalam tim tersebut memiliki nomor yang berbeda,
  2. Langkah 2, pengajuan pertanyaan: guru mengajukan suatu pertanyaan kepada siswa. Pertanyaan dapat bervariasi dari yang bersifat spesifik hingga yang bersifat umum,
  3. Langkah 3, berpikir bersama (Head Together): para siswa berpikir bersama untuk menggambarkan dan meyakinkan bahwa tiap orang mengetahui jawaban tersebut,
  4. Langkah 4, pemberian jawaban: guru menyebutkan suatu nomor dan para siswa dari tiap kelompok dengan nomor yang sama mengangkat tangan dan menyiapkan jawaban untuk seluruh kelas (Ibrahim et all, 2000: 28).

  1. Manfaat Pembejaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif sebagai sebuah pola atau rancangan yang disebut strategi pembelajaran, maka model pembelajaran kooperatif dalam pelaksanaannya dikelas memiliki manfaat sebagaimana dijelaskan oleh Ibrahim at all. (2000:18-19), yakni:
  1. Meningkatkan pencurahan waktu pada tugas,
  2. Rasa harga diri menjadi lebih tinggi,
  3. Angka putus sekolah menjuadi rendah,
  4. Penerimaan terhadap perbedaan individu menjadi lebih besar,
  5. Memperbaiki kehadiran,
  6. Perilaku mengganggu menjadi lebih kecil,
  7. Konflik antar pribadi berkurang,
  8. Sikap apatis berkurang,
  9. Pemahaman yang lebih mendalam,
  10. Motivasi lebih besar,
  11. Hasil belajar lebih tinggi, dan
  12. Meningkatkan kebaikan budi, kepekaan, dan toleransi.

  1. Pemberian Nilai dalam Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif guru harus berhati-hati dalam cara menilai yang ditetapkan diluar sistem penilaian. Konsisten dengan konsep struktur penghargaan kooperatif penting bagi guru untuk menghargai hasil kelompok. Tugas penilaian ganda ini dapat menyulitkan nilai individu untuk suatu nilai kelompok (Ibrahim et all, 2000:58).

  1. Hasil Belajar
Taksonomi Bloom membagi hasil belajar atas tiga ranah, yaitu kognitif, afektif dan psikomotor. Ranah kognitif berhubungan dengan berpikir, ranah afektif berhubungan dengan kemampuan perasaan, sikap dan kepribadian, sedangkan ranah psikomotor berhubungan dengan persoalan keterampilan motorik yang dikendalikan oleh kematangan psikologis (Hasan et all, 1991:23-27).
  1. Ranah Kognitif
Ranah kognitif berhubungan dengan kemampuan berpikir dikenal ada 5 jenjang ranah kognitif. Berdasarkan urutan dari yang terendah ke yang tertinggi, kelima jenjang tersebut, adalah:
  1. Pengetahuan
Pengetahuan adalah kemampuan manusia dalam mengingat semua jenis informasi yang diterimanya. Informasi tersebut dapat saja berbentuk data, istilah, definisi, fakta, teori, pendapat, prosedur kerja, tata tertib, hukum, generalisasi, klasifikasi, kriteria, metodologi, abstraksi, dan penjelasan.
  1. Pemahaman
Pemahaman adalah jenjang kognitif kedua. Tingkat pemahaman ada tiga kemampuan pokok yang merupakan indikator pemahaman terhadap informasi yang diterima. Ketiga kemampuan tersebut dianggap sebagai subkategori pemahaman. Ketiganya adalah kemampuan, menerjemahkan, menafsirkan, dan ekstrapolasi berdasarkan urutan tingkatannya.
  1. Aplikasi
Aplikasi adalah kemampuan menggunakan sesuatu dalam situasi tertentu yang bukan merupakan pengulangan. Analisis adalah kemampuan untuk melakukan pengolahan informasi lebih lanjut. Pengetahuan analisis yang tertinggi adalah kemampuan menemukan prinsip atau dasar organisasi dengan informasi yang dikaji.
  1. Sintesis
Kemampuan sintesis secara umum dapat dikatakan bahwa kemampuan ini baru terjadi apabila kita menghadapi informasi yang berbeda-beda.
  1. Evaluasi
Evaluasi adalah kemampuan tertinggi dalam ranah kognitif, untuk sampai kepada kemampuan evaluasi semua kemampuan yang ada di bawahnya harus dikuasai. Orang tak mungkin melakukan evaluasi apabila tidak memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang apa yang akan dievaluasi serta bagaimana melakukan evaluasi, tentang prosedur yang harus dilakukan, melihat keunggulan dan kelemahan suatu program berdasarkan informasi yang ada, juga melihat orisinalitas sesuatu yang akan dievaluasi.
  1. Analisis
Analisis adalah kemampuan untuk melakukan pengolahan informasimlebih lanjut. Pegetahuan analisis yang tertinggi merupakan kemampuan melakukan prinsip atau dasar organisasi dengan informasi yang dikaji.
  1. Ranah Afektif
Ranah afektif berhubungan dengan minat, perhatian, sikap, emosi, penghargaan, proses, internalisasi, dan pembentukan karakteristik diri. Krathwohl, dkk. (1964) membagi ranah afektif dalam 5 jenjang. Kelima jenjang tersebut, adalah:
  1. Penerimaan (receiving)
Jenjang ini adalah pembuka alat indera seseorang terhadap dunia luar. Ada tiga proses untuk jenjang penerimaan ini, pertama adanya kesadaran tentang apa yang sedang terjadi kita sadar adanya sejawat yang datang, orang berbicara, acara televisi, dan sebagainya. Kedua adalah kesediaan menerima apa yang terjadi tersebut sebagai stimulus. Ketiga adalah kemauan kita untuk mengontrol atau memilih stimulus mana yang akan kita perhatikan lebih lanjut.
  1. Penanggapan (responding)
Penanggapan adalah jenjang kedua dan lebih tinggi dari jenjang penerimaan. Penanggapan ini yang ditekankan adalah keinginan yang bersangkutan dan bukan sesuatu yang dirasakan sebagai suatu kewajiban yang harus dilakukan.
  1. Penghargaan (valuing)
Penghargaan adalah jenjang ketiga. Jenjang ini aktivitas efektif lebih tinggi dari jenjang pemberian penanggapan. Kalau dalam jenjang penanggapan orang yang melakukannya baru menunjukkan rasa senang dan gembira dapat memberikan penanggapan, dalam jenjang penghargaan ini sudah sampai pada rasa keterikatan atau memiliki terhadap suatu stimulus. Jenjang penghargaan terbagi atas tiga kategori pula yaitu penerimaan suatu nilai, kecenderungan (preferensi) akan suatu nilai, dan keterikatan (commitment) akan suatu nilai tertentu.
  1. Pengorganisasian (organization)
Pengorganisasian adalah jenjang keempat. Pengorganisasian terjadi apabila seseorang berada dalam situasi dimana terdapat lebih dari satu nilai atau sikap. Kesamaan antara pengorganisasian dengan sintetis dalam kognitif. Keduanya berhubungan dengan berbagai jenis dan kelompok stimulus. Perbedaannya, dalam sintetis hasil dari proses yang diperhatikan dan dianggap sebagai hasil kemampuan intelektua, afektif hal yang diutamakan adalah proses dan kecenderungan yang diperhatikan dalam berhubungan dengan stimulus.
  1. Penjatidirian (characterization)
Penjatidirian adalah jenjang tertinggi afektif. Jenjang ini nilai dan sikap sudah menjadi milik seseorang. Jadi, nilai dan sikap bukan saja diterima, disenangi, dihargai, digunakan dalam kehidupan, serta diorganisasikan dengan nilai dan sikap lainnya, tetapi sudah mendarah daging pada dirinya.
  1. Ranah Psikomotor
Ranah psikomotor berhubungan dengan kemampuan gerak atau manipulasi yang bukan disebabkan oleh kematangan biologis. Pengembangan ranah ini justru kemudian dilanjutkan oleh orang yang bukan masuk dalam kelompok kerja Bloom. Pertama mengembangkan ranah ini adalah Simpson (1966) memberikan tujuh jenjang psikomotor yang bersifat hierarkis yaitu persepsi, kesiapan, penanggapan terpimpin, mekanistik, penanggapan yang bersifat kompleks, adaptasi, dan originalitas.
Harrow (1972) mengembangkan pula ranah psikomotor ini dengan enam jenjang. Jenjang yang juga telah dikemukakan oleh Simpson. Keenam jenjang Simpson ialah gerakan refleks, gerakan badan yang mendasar, kemampuan persepsi, kemampuan fisik, keterampilan gerakan dan komunikasi yang beraturan (nondiscursive). Kelemahan utama dari klasifikasi Harrow, terutama mengenai jenjang pertama dan kedua. Kedua jenjang ini jelas menunjukkan adanya pengaruh kematangan biologis dan fisik sebagai faktor utama yang menyebabkan perubahan.

  1. Evaluasi Hasil Belajar
Evaluasi artinya penilaian terhadap tingkat keberhasilan siswa mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam sebuah program. Padanan kata evaluasi adalah asssment yang menurut Tardif et al (1989), berarti proses penilaian untuk menggambarkan prestasi yang dicapai seorang siswa sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Selain kata evaluasi dan asssment ada pula kata lain yang searti dan relatif lebih masyur dalam dunia pendidikan kita yakni tes, ujian, dan ulangan (Syah, 2008:197).
Roestiyah dalam Djamarah dan Zain (2006:20) berpendapat bahwa evaluasi adalah kegiatan mengumpilkan seluas-seluasnya, sedalam-dalamnya yang berhubungan dengan kapabilitas siswa yang dapat mendorong dan mengembangkan kemampuan belajar. Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 58 ayat 1 menyatakan evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar pesrta didik secara berkesinambungan. Dengan demikian, maka evaluasi belajar harus dilakukan guru secara kontinyu, bukan hanya pada musim-musim ulangan terjadal atau ujian semata. Syah (2008:198-199) mengemukakan bahwa tujuan evaluasi adalah sebagai berikut:
  1. Untuk mengetahui tingkat kemajuan yang telah dicapai oleh siswa dalam suatu kurun waktu proses belajar tertentu,
  2. Untuk mengetahui tingkat usaha yang dilakukan sisa dalam belajar,
  3. Untuk mengetahui tingkat usaha yang dilakukan siswa dalam belajar,
  4. Untuk mengetahui hingga sejauh mana siswa telah mendayagunakan kapasitas kognitifnya untuk keperluan belajar,
  5. Untuk mengetahui tingkat daya guna dan hasil guna metode yang digunakan guru dalam proses belajar mengajar (PBM).

Evaluasi hasil belajar berfungsi melaksanakan ketentuan konstitusional yang termaktub dalam Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 57 ayat 1 menyatakan evaluasi pendidikan dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Syah (2008:200) menyebutkan fungsi evaluasi ada lima, yaitu:
  1. Fungsi administratif untuk penyusunan daftar nilai dan pengisian buku rapor,
  2. Fungsi promosi untuk menetapkan kenaikan atau kelulusan,
  3. Fungsi diagnostik untuk mengidentifikasi kesulitan belajar siswa dan merencanakan remedial teaching (pengajaran perbaikan),
  4. Sebagai sumber data bimbingan dan penyuluhan (BP) yang dapat memasok data siswa tertentu yang memerlukan bimbingan dan penyuluhan (BP),
  5. Sebagai bahan pertimbangan pengembangan pada masa yang akan datang yang meliputi pengembangan kurikulum, metode, dan alat-alat untuk proses belajar mengajar.

Evaluasi hasil belajar merupakan kegiatan berencana dan berkesinambungan, oleh karena itu ragamnya pun banyak mulai dari sederhana sampai yang paling kompleks (Syah, 2008:200).
  1. Pre-test dan Post- test
Kegiatan pre-test dilakukan guru secara rutin pada setiap akan memulai penyajian materi baru. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi taraf pengetahuan siswa mengenai bahan yang akan disajikan (Syah, 2008:201). Fungsi pre-test (Mulyasa, 2004:100) adalah sebagai berikut:
        1. Menyiapkan siswa dalam proses pembelajaran, karena dengan pre-test maka pikiran mereka akan terfokus pada soal-soal yang harus dikerjakan,
        2. Mengetahui tingkat kemajuan siswa sehubungan dengan proses pembelajaran yang dilakukan. Hal ini dapat dilakukan dengan membandingkan hasil pre-test dan post-test,
        3. Mengetahui kemampuan awal yang telah dimiliki siswa mengenai materi yang akan dijadikan topik dalam proses pembelajaran,
        4. Mengetahui dari mana seharusnya proses pembelajaran dimulai, tujuan-tujuan mana yang telah dikuasai siswa dan tujuan-tujuan mana yang perlu mendapat penekanan dan perhatian khusus.

Post-test adalah kegiatan evaluasi yang dilakukan guru pada setiap akhir penyajian materi. Tujuan adalah untuk mengetahui taraf penguasaan siswa atas materi yang telah diajarkan (Syah, 2008:201-202). Fungsinya adalah untuk mengetahui taraf penguasaan siswa atas materi yang telah diajarkan, jika hasil post-test dibandingkan dengan hasil pre-test, akan dapat diketahui seberapa jauh pengaruh dari pembelajaran yang telah diberikan dan dapat pula diketahui bagian-bagian mana dari penyajian materi yang belum dipahami siswa (Ibrahim dan Syaodih, 1996:131)
  1. Evaluasi Prasyarat
Evaluasi jenis ini sangat mirip dengan pre-test. Evaluasi yang bertujuan untuk mengidentifikasi penguasaan sisa atas materi lama yang mendasari materi baru yang akan diajarkan (Syah, 2008:202).
  1. Evaluasi Diagnostik
Evaluasi ini dilakukan setelah penyajian sebuah satuan pelajaran dengan tujuan mengidentifikasi bagian-bagian tertentu yang belum dikuasai siswa. Instrumen evaluasi jenis ini dititik beratkan pada bahasan tertentu yang dipandang telah membuat siswa mendapatkan kesulitan (Syah, 2008:202).
  1. Evaluasi Formatif
Syah (2008:202) mengemukakan bahwa evaluasi jenis ini dapat dipandang sebagai “ulangan” yang dilakukan pada setiap penyajian satuan pelajaran atau modul. Tujuannya adalah memperoleh umpan balik yang mirip dengan evaluasi diagnostik, yakni untuk mendiagnosisi (mengetahui penyakit/kesulitan) kesulitan belajar siswa. Hasil diagnosis tersebut digunakan sebagai bahan pertimbangan rekayasa pengajaran remedial (perbaikan).
  1. Evaluasi Sumatif
Ragam penilaian sumatif dapat dianggap sebagai “ulangan umum” yang dilakukan untuk mengukur kinerja akademik atau prestasi belajar siswa pada akhir periode pelaksanaan program pengajaran (Syah, 2008:203). Ragam alat evaluasi terdiri atas dua macam bentuk (Syah, 2008:203-209) yaitu:
    1. Bentuk Objektif
Bentuk ini merupakan tes yang dapat diberi skor nilai secara lugas (seadanya) menurut pedoman yang ditentukan sebelumnya. Evaluasi bentuk obyektif ini ada lima macam tes, yaitu:
    • Tes benar salah, yaitu tes yang paling sederhana. Soal-soal dalam tes ini berbentuk pernyataan yang pilihan jawabannya hanya dua macam, yakni “B” jika pernyataan tersebut benar dan “S” jika pernyataan tersebut salah,
    • Tes pilihan berganda, yaitu item-item dalam tes pilihan berganda (multiple choice) biasanya berupa pertanyaan atau pernyataan yang dapat dijawab dengan memilih salah satu dari empat atau lima alternatif jawaban yang mengiringi tiap soal,
    • Tes pencocokan (menjodohkan), disusun dalam dalam daftar yang masing-masing memuat kata, istilah, atau kalimat yang diletakkan bersebelahan. Tugas siswa dalam menjawab item-item soal ialah mencari pasangan yang selaras antara kalimat atau istilah yang ada pada daftar,
    • Tes isian, biasanya berbentuk cerita atau karangan pendek, yang pada bagian-bagian yang memuat istilah atau nama tertentu dikosongkan. Siswa berpikir untuk menemukan kata-kata yang relevan dengan karangan tersebut,
    • Tes pelengkapan (melengkapi), carapenyelesaiannya sama dengan tes isian. Perbedaannya terletak pada kalimat-kalimat yang digunakan sebagai instrumen.
    1. Bentuk Subjektif
Alat evaluasi yang berbentuk subyektif adalah alat pengukur prestasi belajar yang jawabannya tidak dinilai dengan skor atau angka yang pasti. Hal ini disebabkan banyaknya ragam gaya jawaban yang diberikan oleh siswa.instrumen evaluasi mengambil bentuk essay examination, yaitu soal ujian yang mengharuskan siswa menjaab setiap pertanyaan dengan cara menguraikan atau dalam bentuk karangan bebas.
Keunggulan tes esai adalah sebagai berikut:
    • tes esai tidak hanya mampu mengungkapkan materi hasil jaaban siswa tetapi juga cara atau jalan yang ditempuh untuk memperoleh jawaban tersebut,
    • tes esai mendorong siswaberpikir kreatif, kritis, bebas, mandiri, tetapi tanpa melupakan tanggung jawab.

  1. Penilaian Hasil Belajar
Penilaian belajar siswa bermakna bagi semua komponen pengajaran, terutama bagi siswa, guru dan sekolah (Arikunto, 1987:5-7).
  1. Makna bagi siswa
Diadakannya evaluasi, maka siswa dapat mengetahui sejauh mana ia telah berhasil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh guru. Hasil yang diperoleh siswa dari pekerjaan menilai ada 2 kemungkinan, yaitu:
    1. Memuaskan
Siswa memperoleh hasil yang memuaskan, dan hal itu menyenangkan, tentu kepuasan itu ingin diperolehnya pada kesempatan lain waktu sehingga siswa akan mempunyai motivasi yang cukup besar untuk belajar lebih giat, agar lain kali mendapat hasil yang lebih baik lagi. Keadaan sebaliknya dapat terjadi, yakni siswa sudah merasa puas dengan hasil yang diperolehnya dan usahanya kurang gigih untuk lain kali.
    1. Tidak memuaskan
Siswa tidak puas dengan hasil yang diperolehnya ia akan berusaha agar lain kali keadaan itu tidak terulang lagi, yaitu belajar dengan lebih giat lagi. Namun demikian, keadaan sebaliknya dapat terjadi, ada beberapa siswa yang lemah kemauannya, akan menjadi putus asa dengan hasil yang kurang memuaskan yang telah diterimanya.
  1. Makna bagi guru
Hasil penilaian yang diperoleh, guru akan dapat mengetahui siswa-siswa mana yang sudah berhasil melanjutkan pelajarannya, karena siswa tersebut telah berhasil menguasai bahan, maupun mengetahui siswa-siswa yang belum berhasil menguasai bahan. Petunjuk ini guru dapat lebih memusatkan perhatiannya kepada siswa yang belum berhasil. Apabila guru tahu akan sebab-sebabnya, memberikan perhatian yang memusat dan memberikan perlakuan yang lebih teliti sehingga keberhasilan selanjutnya dapat diharapkan. Guru akan mengetahui apakah materi yang diajarkan sudah tepat bagi siswa sehingga untuk memberikan pengajaran di waktu yang akan datang tidak perlu diadakan perubahan.
Guru akan mengetahui apakah metode yang digunakan sudah tepat atau belum, jika sebagian besar dari siswa memperoleh angka jelek pada penilaian yang diadakan, mungkin hal ini disebabkan oleh pendekatan atau metode yang kurang tepat. Apabila demikian halnya, maka guru harus mawas diri dan mencoba mencari metode lain dalam mengajar.
  1. Makna bagi sekolah
Guru-guru mengadakan penilaian dan diketahui bagaimana hasil belajar siswa-siswanya, dapat diketahui pula apakah kondisi belajar yang diciptakan oleh sekolah sesuai dengan apa yang diharapkan atau belum. Karena hasil belajar mencerminkan kualitas suatu sekolah. Informasi dari guru tentang dapat tidaknya kurikulum untuk sekolah itu dapat merupakan bahan pertimbangan bagi perencanaan sekolah untuk masa-masa yang akan datang. Informasi hasil penilaian yang diperoleh dari tahun ke tahun, dapat digunakan sebagai pedoman bagi sekolah, apakah yang dilakukan oleh sekolah sudah memenuhi standar atau belum. Pemenuhan standar akan terlihat dari bagusnya nilai-nilai yang diperoleh siswa.
DAFTAR RUJUKAN

Afandi, I. 2006. KTSP dan Penguatan Otonomi Sekolah, (Online), (http//www.pikiran rakyat.com, diakses 28 Agustus 2006).
Arikunto, S. 1997. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Arikunto, S. 2006. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Dimyati, dan Mudjiono, 2006. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Hasan. 1991. Evaluasi Hasil Belajar. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Ibrahim et all. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: Surabaya University Press.
Ibrahim, R., dan Syaodih, N. 1996. Perencanaan Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Margono, S. 2005. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Rohani, et all, 1991. Pengelolaan Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Sardiman. 2001. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Slamento. 2003. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta.
Sodijono, A. 2005. Pengantar Statiska Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Sugiyono. 2007. Statistika untuk Penelitian. Bandung: CV Alfabeta.
Syah, M. 2008. Psikolologi Belajar. Jakarta: Raja Grafido Persada.
Trianto. 2007. Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik Konsep, Landasan Teoritik Praktis dan Implementasinya. Jakarta : Prestasi Pustaka.
Diposkan oleh IMAM GUNAWAN di 18:59
masimamgun.blogspot.com/.../model-pembelajaran-kooperatif-tipe.h...