Selasa, 07 Februari 2012

PEMIMPIN BESAR TIDUR DI ATAS TIKAR

Oleh A. Hajar Sanusi ( PR : 13 Ramadan 1432 H / 13 Agustus 2011)
Dalam salah satu syairnya, Muhammad Iqbal menggambarkan kepribadian Rasulullah saw. Sebagai berikut : Sungguh hati Muslim dipatri cinta Nabi/Dialah pangkal mulia/Sumber bangga kita di dunia/Dia tidur di atas tikar kasar/Sedangkan umatnya mengguncangkan tahta Kisra/Inilah pemimpin bermalam-malam terjaga/Sementara umatnya tidur di ranjang raja-raja.
Bait-bait di atas melukiskan zuhud Rasulullah saw. Kebersahajaan dalam kehidupan duniawi memang merupakan atribut Rasulullah saw. yang sangat mengemuka. Namun, stilah zuhud kerap disalahpahami. Tidak jarang orang memahaminya sebagai pola hidup yang menolak secara total berbagai hala yang berkaitan dengan dunia. Tengok misalnya sebagian pengamal tasawuf. Ada diantara mereka yang mengasingkan diri, hidup dalam ribat-ribat di daerah terpencil, jauh dari denyut nadi kehidupan masyarakat. Mereka tidak hirau lagi dengan masalah keduniawian. Sebab menurut mereka, dunia tidak sekedar bernilai rendah dan kotor, tetapi juga dianggap sebagai penghambat jalan spiritual menuju keridhaan Allah SWT.
Padahal, hidup zuhud tidak mesti begitu. Bahkan, yang demikian itu sedah pasti tidak akan dibenarkan Islam. Bukankan agama yang satu ini menganjurkan keseimbangan (ekuilibrium) antara dunia profan dan sakral? Bukankah Al-Quran -- sebagai sumber utama ajaran Islam – memerintahkan manusia untuk berdoa agar memperoleh kesejahteraan dunia dan kebahagiaan akhirat?
Jika demikian halnya, apa sejatinya hidup zuhud itu? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, elok jika kita simak pendapat Ali bin Abi Thalib karramallaahu wajhah. Menurut sahabat yang satu ini, “Keseluruhan sifat zuhud terletak di antara dua kalimat dalam Al-Quran, yaitu firman Allah (lihat QS. Al-Hadid/57:23), yang berbunyi, Likaylaa ta’saw’alaa maa faatakum wa laa tafrahuu bimaa aataakum... (Agar kamu tidak berduka cita atas apa yang luput darimu dan tidak bersukaria atas sesuatu yang diberikan-Nya kepadamu). Barang siapa yang tidak berduka cita dan tidak bersukaria atas sesuatu yang datang, maka sesungguhnya dia telah mencakup sifat zuhud dalam arti yang sebenarnya.
Dalam kesempatan lain, Ali bin Abi Thalib mendefinisikan zuhud dengan kalimat, Anta tamliku-d dunyaa wa laa tamlikuka (Engkau memiliki dunia, tetapi dunia tidak pernah menguasaimu). Dalam pengertian inilah kita pahami sifat zuhud Rasulullah saw.
Tiga orang empu Hadis, Bukhari, Ahmad dan Ibn Majah meriwayatkan bahwa pada suatu hari Umar bin Khattab bertamu ke rumah Rasulullah saw. Sahabat sekaligus mertua itu mendapati beliau sedang duduk di atas tikar kasar dan tua. Mata Umar lantas mengamati isi ruangan, tempat ia bertemu dengan manusia agung ini. Umar tidak menemukan sesuatu apapun, kecuali yang disaksikannya, yakni tas kulit yang tergantung di dinding (untuk menyimpan beberapa genggam gandum) dan sehelai tikar yang hampir koyak itu. Saat itu, Umar tak kuasa menahan tangis. Melihat Umar menangis, Rasulullah saw. Bertanya, “Limaadza tabki, ya Ibnu-l Khaththaab (Mengapa engkau menangis, wahai putra Khattab)?” Sambil terisak, Umar menjawab, “Bagaimana aku tidak menangis, ya Rasulullah! Bukankah tikar tempat duduk Anda sudah begitu tua. Lagi pula, Anda tidak menyimpan sesuatu pun, kecuali apa yang aku saksikan saat ini. Sementara di negeri sana, Kaisar (Raja Romawi) dan Kisra (Raja Persia) -- sambil bersemayam di atas singgasana -- mereka menghadapi hidangan srta buah-buahan yang lezat, lengkap dengan perangkat hidup serba mewah. Padahal bukankah Anda ini, ya Rasulullah, seorang utusan dan kekasih-Nya?” Rasulullah menenangkan Umar dengan berkata, “Afiya syakkun, anta ya Ibnu-l khaththaaab? Ulaaika qawmun ‘ujjilat lahum thayyibatahum fi-l hyaata-d dunyaa (Apakah engkau masih ragu tentang diriku, wahai putra Khattab? Mereka itu adalah orang-orang yang disegerakan balasan atas kebajikannya dalam kehidupannya di dunia ini)”.
Demikianlah pola hidup Rasulullah saw. Jika mau, gunung Uhud pernah ditawarkan kepadanya untuk diubah jadi bongkahan emas, tetapi ditolaknya. Dengan kata lain, meskipun kunci kekayaan berada di tangan, Rasulullah saw. Tetap hidup bersahaja. Inilah dia : Pemimpin  besar tidur di atas tikar kasar. Sebuah model par excellence.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar