Selasa, 07 Februari 2012

Mencintai Fakir Miskin Ala Imam Zainal Abidin

Oleh A. Hajar Sanusi  (PR : 22 Ramadan 1432 H / 22 Agustus 2011)
Imam Zaenal Abidin adalah keturunan Rasulullah saw. Ia selamat dari kebiadaban tentara Yazib bin Muawiyah ketika terjadi pembantaian terhadap Imam Husain dan para sahabatnya di Padang Karbala. Waktu itu, Imam Zainal Abidin sedang sakit yang memaksa dia tetap berada dalam kemahnya.
Sejatinya, sebutan Zainal Abidin adalah gelar yang diberikan masyarakat Muslim kepada Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib ra. Sebutan itu diperoleh cucu Fatimah al-Zahra binti Rasulullah saw. Ini karena tokoh yang satu ini selalu larut dalam pengabdian kepada Allah swt. Ia kerap kali emalkukan sujud. Karena itu pula, kulit dahi Imam tampak mengeras dan kehitam-hitaman. Bahkan tak jarang kedua telapak kaki dan tangannya membengkak lantaran berlama-lama dalam shalat.
 Selain sebutan di atas, masyarakat pun menggelarinya al Sajjad (yang amat banyak sujudnya). Putranya, Muhammad al-Baqir menjelaskan perihal sujud ayahnya, “Setiap kali ayahku teringat, atau menyebut nikmat Allah SWT, ia langsung bersujud ; Setiap kali membaca ayat-ayat Alquran yang dalamnya terdapat kata sujud, ia pun bersujud; Jika telah selesai melaksanakan shalat fardu, ia sujud juga; juga, apabila berhasil mendamaikan orang yang bertengkar, ia pun bersujud.”
Jika Imam Zainal Abidin salat malam, ia sudah tidak hirau lagi terhadap peristiwa di luar dirinya. Pernah suatu malam terjadi kebakaran di rumahnya, waktu ia sedang sujud dalam salatnya. Orang-orang di luar memanggil-manggil, “Wahai putra Rasulullah! Wahai putra Rasulullah! Api! Api sedang membakar rumah Tuan!” Namun, ia seolah-olah tidak mendengar teriakkan mereka. Hal itu tidak membuat dia bangkit dari sujudnya. Ia tetap dalam salatnya sampai api itu dapat dipadamkan. Ketika kemudian ditanyakan, mengapa ia tidak menghiraukan teriakkan-teriakkan mereka, Imam menjawab, “Api yang lebih besar dari itu (maksudnya api neraka di akhirat telah menyita seluruh perhatianku.”
Kan tetapi, harap dicatat, keasyikan dalam ibadah ritual ternyata tidak menghalangi Imam untuk menjalankan aktivitas kemasyarakatan. Untuk mudahnya, kegiatn yang disebut belakangan kita namakan saja kesalihan sosial. Seluruh aktivitas hidup Imam Zainal Abidin dapat diringkas dalam satu kalimat, “Menghambakan diri kepada Allah SWT dan berkhidmat kepada sesama manusia.”
Salah satu sifat Imam Zainal Abidin yang paling menonjol adalah kedermawanannya. Ia memang sangat pemurah. Untuk melukiskan kedermawanannya itu, seorang penyair yang termasyhur pada jamannya, Farazdaq (lihat Bagir, 1983: 57 dan 59) mengatakan, Kilta yadaihi ghiyatsun ‘amma naf’uhuma. Yustawkafani wa la ya ‘ruhuma al-‘adam. Sahl al-khaliqah la tukhsya bawadiruh. Yuzayyinuhu itsnani husn al-khulq wa al-karam. Ma qala” la” qaththillla fi tasyahhudih. Law la al-tasayhhud kana la’uhu na’am (kedua tangannya bagai hujan tercurah merata, bertebaran kebajikannya di mana-mana. Tiada keduanya hampa meski berhamburan kedermawanannya. Sederhana perangainya, tiada dikhawatirkan akibat marahnya. Kedermawanan dan akhlak mulia selalu menghiasi dirinya. Kata “tidak” tak pernah diucapkan kecuali dalam ikrar syahadat. Seandainya bukan dalam syahadat ia terpaksa, niscaya “tidak”-nya berganti dengan “ya”.
Oleh karena itu, tidak heran kalau dalam satu riwayat dikatakan, bahwa ia kerap memikul karung-karung roti dan tepung di pundaknya pada malam hari, yang kemudian dibagi-bagikan kepada penduduk miskin Madinah. Lantara dilakukan di kegelapan malam, untuk sementara waktu pihak-pihak yang dibantu tidak mengenal siapa pemberi sedekah itu. Rahasia tersebut baru terbongkar setelah Imam Zainal Abidin wafat. Sejak dia meninggal dunia, kiriman berupa “sedekah malam” itu tidak pernah datang lagi.
Imam Zainal Abidin memang amat mencintai masyarakat kelas bawah. Misalnya, orang miskin, hamba sahaya, dan kaum mustadh’afin lainnya. Ia sering kali mengunjungi mereka, duduk-duduk bersamanya, serta berbincang dengan penuh ramah dan penuh kasih sayang. Jika datang seorang peminta-minta kepadanya, ia selalu menyambut dengan kata-kata, Marhaban, ya manyahmilu zadi ila al-akhirah. Artinya, “Selamat datang wahai sahabat, yang hendak memikul bekalku menuju kampung akhirat!”.
Tidak sedikt hamba sahaya yang kemudian menjalani hidup sebagai orang merdeka lantaran usha Imam Zainal Abidin. Untuk itu, terutama pada bukan suci Ramadan, ia mengeluarkan banyak uang. Ia membeli budak-budak itu dari pemiliknya untuk kemudian mereka dimerdekakan tanpa syarat. Selain itu, Imam terkenal karena perilakunya yang lembut terhadap hamba sahaya. Sekelumit kisah di bawah ii merupakan lukisan nyata dari sifat-sifat tersebut.
Suatu ketika seorang hamba sahaya membawakan cerek tempat air wudlu untuknya. Secara tidak sengaja cerek itu tiba-tiba terlepas dari tangannya dan jatuh menimpa, bahkan melukai kepala Imam Zainal Abidin. Karena takut, hamba sahaya itu segera memohon maaf seraya berkata, “Tuanku, Allah SWT telah berfirman, Wa al-khazhimin al-ghayzha (Dan orang-orang yang menahan amarahnya).” Imam menjawab, “Baiklah, sudah aku tahan amarahku.” Sahaya itu melanjutkan bacaannya, Wa al-‘afin ‘an-nas (Dan orang-orang yang memaafkan orang lain).” “Ya , baik. Kamu telah ku maafkan, “jawabnya. Sahaya itu masih terus membaca penutup ayat tersebut, yang bunyinya, Wallahu yuhibb al-muhsinin (Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan).” Setelah selesai ayat itu dibacakan, Imam kemudian mengatakan, “Baiklah, sekarang kamu bebas pergi kemana saja. Demi meraih keridaan Allah, mulai saat ini kamu telah kumerdekakan.”
Begitulah cara Imam Zainal Abidin mencintai orang-orang kecil. Ia melakukannya, tidak cukup sekadar pengajaran dalam bentuk ucapan, melainkan juga lewat keteladanan dan amal yang nyata. Mungkin ada gunanya kita mengambil pengajaran (‘ibrah) dari kisah tersebut. Terlebih lagiketika bangsa ini mengalami kelangkaan figur teladan. Mudah-mudahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar