Selasa, 07 Februari 2012

SEBUNGKUS MAKANAN UNTUK ORANG LAPAR

Oleh H. Usep Romli H.M. (PR : 6 Ramadan 1432 H / 6 Agustus 2011)
Tersebutlah kisah seorang ahli ibadah. Selama tujuh puluh tahun, ia tak pernah meninggalkan tempat rukuk dan sujudnya. Ia senantiasa berdzikir dan menyepi memuji Allah swt. Karena ketekunannya itu, orang-orang menganggapnya sebagai ahli surga.
Namun, pada suatu saat, ia terjebak ke dalam perbuatan maksiat. Semua bermula dari rasa was-was dan jenuh. Sebagai manusia, memang ia tidak luput dari kekhilafan. Al Insaanu Mahallu-Ikhathaa’ wannisyaan (manusia merupakan tempatnya salah dan lupa). Tujuh hari sudah ia melakukan hal-hal yang bertentangan dengan nilai ibadahnya selama tujuh puluh tahun tersebut.
Ketika muncul kesadaran, segera ia bertobat. Tempat beribadah selama tujuh puluh tahun itu ia tinggalkan. Sang ahli ibadah berjalan kemana saja, sambil menyesali perbuatan dosa yang ia kerjakan selama tujuh hari itu. Di tengah perjalanan, ia kehabisan bekal. Berhari-hari ia puasa. Untuk berbuka, ia hanya mengandalkan air minum di pinggir jalan yang ia lalui.
Syahdan, tibalah ia di suatu tempat saat seorang dermawan menyumbangkan makanan kepada fakir miskin. Ia mendapat bagian. Sebungkus makanan terakhir. Tiba-tiba, datanglah seorang tua yang tengah kelaparan. Namun, tempat pembagian sudah tutup. Semburat kesedihan tertampak jelas diwajah si oarang tua. Tampaknya juga rasa penyesalan karena ia datang terlambat.  Bagaimana dapat berjalan cepat jika tubuh lesu lunglai?
Menyaksikan keadaan demikian, sang ahli ibadah yang sedang bertobat itu meneyrahkan bungkusan miliknya kepada orang tua kelaparan itu. Ia berkata, “ini makanan  rezeki anda, wahai pak tua. Makanlah agar anda kembali bertenaga”.
Beberapa waktu kemudian, sang ahli ibadah itu wafat. Di akhirat, ternyata timbangan amal ibadahnya selama tujuh puluh tahun itu kalah berat dibandingkan dengan dosa kemaksiatan yang ia lakukan meskipun hanya selama tujuh hari. Namun, pahala memberikan sebungkus makanan kepad orang tua yang kelaparan, ternyata lebih berat lagi. Pahala itu mampu menghapus dosa maksiat tujuh hari yang menodai tujuh puluh tahun ibadahnya.
Orang-orang menyangka, ia sebagai ahli surga berkat ketekunan ibadah selama tujuh puluh tahun. Tak ada yang menyangka bahwa ia menjadi ahli surga lantaran kemurahannya membebaskan si orang tua dari kelaparan meskipun dengan sebungkus makanan. (Dari kitab Sifatu-shshafwah karya Imam Abdurrahman Ibn Aljauzi).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar