Selasa, 07 Februari 2012

SUFI KAYA DAN SUFI MISKIN


Oleh Soeroso Dasar (PR : 11 Ramadan 1432 H / 11 Agustus 2011)

Syahdan pada suatu masa, hidup seorang syekh yang sangat sederhana, bahkan cenderung memelas di jazirah Arab. Syekh itu dikenal dan dicintai oleh masyarakat bukan karena harta dan tampannya, melainkan budi pekertinya. Shari-hari, ia adalah seorang nelayan yang pergi menangkap ikan di laut.
Sepulangnya dari laut, sang syekh langsung membersihkan ikan hasil tangkapannya. Semua daging ikan dibagikan kepada para kerabat dan tetangga, sedangkan kepala dan tulang ikan disisakan untuk dimakan sendiri.karena sifatnya begitu sosial dan hanya memakan kepala ikan, ia dikenal dengan panggilan syekh kepala ikan.
Syekh adalah seorang sufi, menggelar pengajian dan mempunyai banyak santri. Setelah kembali dari melaut, ia berubah fungsi menjadi guru ngaji. Suatu ketika, menjelang masa liburan, seorang santrinya ingin pergi ke Mursia (Spanyol), yang secara kebetulan sang syekh pernah berguru disana.
Ketika santrinya menyampaikan hasrat untuk pergi ke Mursia, syekh menjawab, “Disana ada guruku, dan tolong kamu mampir ke tempat guruku nanti,” kata syekh kepala ikan. Haripun berlalu dan berganti bulan. Sang santri pergi ke Mursia dan tidak lupa mampir ke rumah guru syekh kepala ikan.
Apa yang terjadi? Santri terkejut karena ternyata ia sudah berada di sebuah rumah yang mirip istana. Mungkinkan seorang sufi hidup di rumah demikian megah dengan segala ornamen, pelayan cantik, dan sajian begitu lezat?
Masih dalam keadaan kebingungan mencari jawaban, setelah menyantap hidangan, santri pun berpamitan pulang. Sang empunya rumah berkata, “Bagaimana? Apa kabar gurumu syekh kepala ikan itu?” “Alhamdulillah sehat, salam dari guru kamu syekh kepala ikan,” jawab santri. Lantas sang empunya rumah berkata, “Sampaikan salam saya, dan katakan kepada gurumu jangan terlalu memikirkan dunia.”
Ucapan guru syekh kepala ikan terakhir ini membuat santri semakin bingung sepanjang jalan saat pulang dari Mursia. Mungkinkah seorang yang begitu kaya raya pantas mengatakan kepada orang miskin dan bersahaja agar ia jangan terlalu memikirkan dunia?
Lebih membingungkan lagi, ketika ucapan gurunya disampaikan kepada syekh kepala ikan, ia mengatakan ucapan gurunya itu benar. “Menjalani hidup sebagai seorang sufi bukan berarti harus hidup miskin. Yang penting hati kita tidak terikat oleh harta, dan tetap terpaut kepada Alah,“ ucap syekh kepala ikan.
Kemudian diketahui, syekh akbar gurunya syekh kepala ikan adalah Muhyi al-Din Ibn ‘Arabi, seorang sufi besar dan cukup cemerlang dalam sejarah perkembangan tasawuf. Kisah ini secara tegas menggambarkan dua hal. Pertama, menjadi orang kaya tidak berarti harus jauh dari kehidupan sufi. Kedua, menjadi seorang miskin tidak otomatis mendekatkan dia pada kehidupan sufistik.
Penggalan kisah seorang sufi yang menggetarkan hati disampaikan oleh sahabt penulis Dr. H. Darun Setiadi, seorang sosiolog, dosen, dan peneliti senior di UIN Bandung, dalam diskusi dengan penulis di Laboratorium Manajemen Fakultas Ekonomi Unpad, beberapa waktu lalu.
Kita sepakat, kehidupan tasawuf adalah membiarkan tangan sibuk mengurus dunia, hati sibuk mengingat Allah SWT. Kegiatan duniawi tidaklah buruk, yang buruk itu adalah gara-gara kegiatan duniawi membuat lupa dan abai kepada Allah SWT. Memang selama ini telah terjadi perdebatan, mana yang lebih baik orang kaya yang selalu bersyukur serta membantu kepentingan orang banyak, atau orang miskin yang sabar dengan kemiskinannya? Rasulullah saw. Pernah bersabda, “Sebaik-baiknya umatku adalah yang bermanfaat untuk orang lain.”
Sungguh sayang, mencari figur seperti syekh kepala ikan saat ini begitu sulit, bahkan tidak ada sama sekali. Yang ada adalah orang-orang yang menggendutkan perutnya sendiri di tengah begitu banyak rakyat jelata.
Cukup sulit juga untuk mencari orang seperti Muhyi al-Din ‘Arabi, yang tangannya di atas membantu orang tanpa pamrih. Kalaulah perilaku dan pribadi seperti kedua mereka banyak hadir di tengah proses pembangunan bangsa, rasanya kondisi kita tidak akan separah ini.
Begitu banyak hrta rakyat lenyap dirampok mereka yang tidak bertanggung jawab. Padahal, bila dana itu utuh, baik dalam proses pemungutan maupun pendistribusiannya,  tentu bermanfaat bagi pembangunan dan peningkatan peradaban manusia. Semoga ramadan ini mampu mengetuk hati mereka, bahwa bermanfaat bagi orang lain adalah manusia terbaik di kaki langit.

1 komentar: